POSISI IMAM DAN ARAH KEPALA JENAZAH PADA SHALAT JENAZAH

Posisi imam dan arah kepala jenazah pada shalat jenazah

A. Posisi imam pada shalat jenazah

Posisi imam pada shalat jenazah tergantung kepada jenis kelamin jenazah itu sendiri. Oleh karena itu, posisinya terbagi kepada dua, yaitu jenazah berjenis kelamin laki-laki, posisi imam berdiri bertepatan pada kepalanya, sedangkan jenazah berjenis kelamin perempuan, posisi imam berdiri bertepatan pada pinggangnya. Ini sesuai dengan keterangan ulama mengenai ini, antara lain :

a. Imam al-Nawawi mengatakan :
“Imam atau yang shalat secara sendiri berdiri di sisi kepala jenazah laki-laki dan di sisi pinggul jenazah perempuan.”

b. Sayyed Abdurrahman Ba’Alawi mengatakan :
“Sunnah berdiri di sisi kepala laki-laki dan pinggul perempuan, meskipun mayat dalam keadaan tertutup atau dalam kubur.”

Dasarnya hadits Nabi:

● Samurah bin Jundub radliyallahu anhu berkata:

ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﻭَﺭَﺍﺀَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﻣَﺎﺗَﺖْ ﻓِﻲ ﻧِﻔَﺎﺳِﻬَﺎ ﻓَﻘَﺎﻡَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻭَﺳَﻄَﻬَﺎ

“Aku melakukan shalat di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam atas mayit wanita yang mati karena nifasnya. Maka beliau berdiri padanya di sisi tengahnya.” (HR. al-Bukhari: 1245, Muslim: 1602).

● Abu Ghalib al-Khayyath berkata:

ﺷَﻬِﺪْﺕُ ﺃَﻧَﺲَ ﺑْﻦَ ﻣَﺎﻟِﻚٍ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺟِﻨَﺎﺯَﺓِ ﺭَﺟُﻞٍ ﻓَﻘَﺎﻡَ ﻋِﻨْﺪَ ﺭَﺃْﺳِﻪِ ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺭُﻓِﻊَ ﺃُﺗِﻲَ ﺑِﺠِﻨَﺎﺯَﺓِ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﻣِﻦْ ﻗُﺮَﻳْﺶٍ ﺃَﻭْ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺄَﻧْﺼَﺎﺭِ ﻓَﻘِﻴﻞَ ﻟَﻪُ ﻳَﺎ ﺃَﺑَﺎ ﺣَﻤْﺰَﺓَ ﻫَﺬِﻩِ ﺟِﻨَﺎﺯَﺓُ ﻓُﻠَﺎﻧَﺔَ ﺍﺑْﻨَﺔِ ﻓُﻠَﺎﻥٍ ﻓَﺼَﻞِّ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻓَﻘَﺎﻡَ ﻭَﺳَﻄَﻬَﺎ ﻭَﻓِﻴﻨَﺎ ﺍﻟْﻌَﻠَﺎﺀُ ﺑْﻦُ ﺯِﻳَﺎﺩٍ ﺍﻟْﻌَﺪَﻭِﻱُّ ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺭَﺃَﻯ ﺍﺧْﺘِﻠَﺎﻑَ ﻗِﻴَﺎﻣِﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﻭَﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓِ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺃَﺑَﺎ ﺣَﻤْﺰَﺓَ ﻫَﻜَﺬَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻘُﻮﻡُ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﺣَﻴْﺚُ ﻗُﻤْﺖَ ﻭَﻣِﻦْ ﺍﻟْﻤَﺮْﺃَﺓِ ﺣَﻴْﺚُ ﻗُﻤْﺖَ ﻗَﺎﻝَ ﻧَﻌَﻢْ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺎﻟْﺘَﻔَﺖَ ﺇِﻟَﻴْﻨَﺎ ﺍﻟْﻌَﻠَﺎﺀُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﺣْﻔَﻈُﻮﺍ

“Aku menyaksikan Anas bin Malik menshalati atas jenazah seorang laki-laki, maka beliau berdiri di sisi kepalanya . Ketika jenazah tersebut diangkat, maka didatangkan lagi kepada beliau jenazah seorang wanita Quraisy atau Anshar. Maka dikatakan kepada beliau: “Wahai Abu Hamzah! Ini adalah jenazah Fulanah bintu Fulan, mohon engkau menshalati atasnya!” Maka beliau pun menshalatinya dan
berdiri di sisi tengahnya . Di sisi kami ada Ala’ bin Ziyad al-Adawi. Ketika ia (Ala’) melihat perbedaan posisi berdirinya Anas bin Malik atas jenazah laki-laki dan wanita, maka ia bertanya: “Wahai Abu Hamzah! Apakah seperti ini posisi berdiri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terhadap jenazah laki-laki seperti posisi berdirimu dan juga posisi berdiri beliau terhadap jenazah wanita seperti posisi berdirimu?” Anas menjawab: “Benar.” Maka Ala’ menoleh kepada kita dan berkata: “Hafalkanlah (pelajaran ini, pen)!” (HR. Ahmad: 12640, at-Tirmidzi: 955 dan ia menilai hadits hasan, Abu Dawud: 2779 dan Ibnu Majah: 1483. Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (4/453): “Perawi sanadnya adalah orang-orang tsiqat.” Hadits ini di-shahih-kan oleh Ibnul Mulaqqin dalam al-Badrul Munir: 5/257 dan juga di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Ahkamul Jana’iz: 109).

● Arah kepala jenazah pada shalat jenazah

Pada hadits yang disebutkan di atas tidak dijelaskan apakah posisi kepala jenazah berada di sisi kanan imam (sisi utara imam menurut orang Indonesia) ataukah di sisi kiri imam (sisi selatan imam menurut orang Indonesia). Maka dari sinilah muncul perbedaan pandangan para ulama.

Maka kemudian sebagian kaum muslimin ketika menshalati jenazah, meletakkan kepala mayit di sebelah kanan imam (sebelah utara menurut orang Indonesia). Sebagian lagi meletakkan kepala mayit di sebelah kiri imam (sebelah selatan menurut orang Indonesia, pen). Juga ada yang membenarkan kedua-duanya. Sebagian lagi bingung, mengikuti pendapat yang mana.

■ Ulama Syafi’iyah

● Pertama

Yang pertama ini menurut al-Allamah Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami rahimahullah, ulama bermadzab Syafii yang wafat tahun 1221 H. Beliau menyatakan:

ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﻳﻘﻒ ﻏﻴﺮ ﻣﺄﻣﻮﻡ ﺇﻟﺦ ‏) ﻭﻳﻮﺿﻊ ﺭﺃﺱ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻟﺠﻬﺔ ﻳﺴﺎﺭ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻏﺎﻟﺒﻪ ﻟﺠﻬﺔ ﻳﻤﻴﻨﻪ ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻤﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻤﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻵﻥ ﺃﻣﺎ ﺍﻷﻧﺜﻰ ﻭﺍﻟﺨﻨﺜﻰ ﻓﻴﻘﻒ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻋﻨﺪ ﻋﺠﻴﺰﺗﻬﻤﺎ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺭﺃﺳﻬﻤﺎ ﻟﺠﻬﺔ ﻳﻤﻴﻨﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﺎﺩﺓ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻵﻥ ﻉ ﺵ ، ﻭﺍﻟﺤﺎﺻﻞ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﻌﻞ ﻣﻌﻈﻢ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻋﻦ ﻳﻤﻴﻦ ﺍﻟﻤﺼﻠﻲ ، ﻓﺤﻴﻨﺌﺬ ﻳﻜﻮﻥ ﺭﺃﺱ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﺟﻬﺔ ﻳﺴﺎﺭ ﺍﻟﻤﺼﻠﻲ ، ﻭﺍﻷﻧﺜﻰ ﺑﺎﻟﻌﻜﺲ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﺍﻟﺸﺮﻳﻒ ﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﻫﻨﺎﻙ ، ﻓﺎﻷﻓﻀﻞ ﺟﻌﻞ ﺭﺃﺳﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻴﺴﺎﺭ ﻛﺮﺃﺱ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻟﻴﻜﻮﻥ ﺭﺃﺳﻬﺎ ﺟﻬﺔ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﺍﻟﺸﺮﻳﻒ ﺳﻠﻮﻛﺎ ﻟﻸﺩﺏ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺤﻘﻘﻴﻦ .

Hasyiyah al-Bujairomi alaa al-Manhaj I/484

Menurut keterangan dalam ‘ibaroh diatas “Sebaiknya bila mayat lelaki, bagian kepala diletakkan diarah kirinya orang yang shalat (sebelah selatan untuk konteks Indonesia) sedang bila mayat wanita, bagian kepala diletakkan diarah kanannya orang yang shalat (sebelah utara untuk konteks Indonesia).

● Kedua

ﻭﻳﻘﻒ ﻧﺪﺑﺎ ﻏﻴﺮ ﻣﺄﻣﻮﻡ ﻣﻦ ﺇﻣﺎﻡ ﻭﻣﻨﻔﺮﺩ ﻋﻨﺪ ﺭﺃﺱ ﺫﻛﺮ ﻭﻋﺠﺰ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺃﻧﺜﻰ ﻭﺧﻨﺜﻰ . ﻭﻳﻮﺿﻊ ﺭﺃﺱ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻟﺠﻬﺔ ﻳﺴﺎﺭ ﺍﻹﻣﺎﻡ، ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻏﺎﻟﺒﻪ ﻟﺠﻬﺔ ﻳﻤﻴﻨﻪ، ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻤﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻤﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻵﻥ . ﺃﻣﺎ ﺍﻷﻧﺜﻰ ﻭﺍﻟﺨﻨﺜﻰ ﻓﻴﻘﻒ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻋﻨﺪ ﻋﺠﻴﺰﺗﻴﻬﻤﺎ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺭﺃﺳﻬﻤﺎ ﻟﺠﻬﺔ ﻳﻤﻴﻨﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﺎﺩﺓ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻵﻥ؛ ﻛﺬﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺒﺮﺍ ﻣﻠﺴﻲ ﻭﺍﻟﺒﺠﻴﺮﻣﻲ ﻭﺍﻟﺠﻤﻞ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻣﻦ ﺣﻮﺍﺷﻲ ﺍﻟﻤﺼﺮﻳﻴﻦ

Fath al-‘Alaam III/172

“Bagi Imam sholat dan orang yang sholat sendirian, disunnahkan memposisikan diri -ketika sholat janazah- di dekat kepala mayit laki-laki dan di dekat bokong mayit perempuan dan banci. Kepala mayit laki-laki diletakkan pada posisi arah kiri imam -sedangkan yang mentradisi ada pada arah kanan imam-, hal ini berbeda dengan yang biasa dilakukan masyarakat saat ini. Adapun mayit perempuan dan banci, maka imam memposisikan dirinya di dekat bokong janazah, sedangkan kepala janazah diletakkan pada posisi arah kanan sebagaimana biasa dilakukan saat ini.”

● Ketiga

ﻭَﻓِﻲ ﺍﻟْﺒُﺠَﻴْﺮِّﻲِﻣِ ﻣَﺎ ﻧَﺼُّﻪُ ﻭَﻳُﻮﺿَﻊُ ﺭَﺃْﺱُ ﺍﻟﺬَّﻛَﺮِ ﻟِﺠِﻬَﺔِ ﻳَﺴَﺎﺭِ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﻭَﻳَﻜُﻮﻥُ ﻏَﺎﻟِﺒُﻪُ ﻟِﺠِﻬَﺔِ ﻳَﻤِﻴﻨِﻪِ ﺧِﻠَﺎﻓًﺎ ﻟِﻤَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻋَﻤَﻞُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺍﻟْﺂﻥَ ﻭَﻳَﻜُﻮﻥُ ﺭَﺃْﺱُ ﺍﻟْﺄُﻧْﺜَﻰ ﻭَﺍﻟْﺨُﻨْﺚﻯَ ﻟِﺠِﻬَﺔِ ﻳَﻤِﻴﻨِﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﺎﺩَﺓِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺍﻟْﺂﻥَ ﻉ ﺵ ﻭَﺍﻟْﺤَﺎﺹِﻝُ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﺠْﻌَﻞُ ﻣُﻌْﻈَﻢُ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻋَﻦْ ﻳَﻤِﻴﻦِ ﺍﻟْﻤُﺼَﻞِّﻱ ﻓَﺤِﻴﻨَﺌِﺬٍ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺭَﺃْﺱُ ﺍﻟﺬَّﻛَﺮِ ﺟِﻬَﺔَ ﻳَﺴَﺎﺭِ ﺍﻟْﻤُﺼَﻞِّﻱ ﻭَﺍﻟْﺄُﻧْﺚﻯَ ﺑِﺎﻟْﻌَﻜْﺲِ ﺇﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮِ ﺍﻟﺸَّﺮِﻳﻒِ ﺃَﻣَّﺎ ﺇﺫَﺍ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻫُﻨَﺎﻙَ ﻓَﺎﻟْﺄَﻓْﺾُﻝَ ﺟَﻌْﻞُ ﺭَﺃْﺳِﻬَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻴَﺴَﺎﺭِ ﻛَﺮَﺃْﺱِ ﺍﻟﺬَّﻛَﺮِ ﻟِﻴَﻜُﻮﻥَ ﺭَﺃْﺳُﻬَﺎ ﺟِﻬَﺔَ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮِ ﺍﻟﺸَّﺮِﻳﻒِ ﺳُﻠُﻮﻛًﺎ ﻟِﻠْﺄَﺩَﺏِ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟْﻤُﺤَﻖِّﻗِﻴﻦَ ﺍ ﻫـ .

Dalam kitab al-Bujairomi terdapat keterangan yang redaksinya “Dan kepala mayat laki-laki diletakkan disebelah kirinya imam shalat janazah, sebagian besar anggauta tubuh mayat diletakkan sebelah kanannya berbeda dengan kebiasaan shalat janazah yang terjadi sekarang ini.
Sedang kepala mayat wanita serta khuntsa (orang berkelamin ganda) diletakkan disebelah kanan imam.
Kesimpulan “Sesungguhnya sebagian besar anggota mayat saat dishlalatkan berada disebelah kanan orang yang menshalatinya, maka kepala mayat laki-laki berada disebelah kirinya orang yang shalat janazah sedang wanita kebalikannya, hal yang demikian bila tidak berada pada kuburan yang mulia sedang bila disana maka sebaiknya meletakkan kepala mayat wanita disebelah kiri orang yang menshalatinya seperti mayat lelaki agar kepalanya kearah kuburan yang mulia demi menjaga sopan santun seperti keterangan yang disampaikan sebagian ulama yang muhaqqiqiin”.
Tuhfah al-Muhtaaj XI/181

● Keempat

ﻭﻳﻘﻒ ﻧﺪﺑﺎ ﻏﻴﺮ ﻣﺄﻣﻮﻡ ﻣﻦ ﺇﻣﺎﻡ ﻭﻣﻨﻔﺮﺩ ﻋﻨﺪ ﺭﺃﺱ ﺫﻛﺮ ﻭﻋﺠﺰ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺃﻧﺜﻰ ﻭﺧﻨﺜﻰ ﻭﻳﻮﺿﻊ ﺭﺃﺱ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻟﺠﻬﺔ ﻳﺴﺎﺭ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻏﺎﻟﺒﻪ ﻟﺠﻬﺔ ﻳﻤﻴﻨﻪ ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻤﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻤﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻵﻥ ﺃﻣﺎ ﺍﻷﻧﺜﻰ ﻭﺍﻟﺨﻨﺜﻰ ﻓﻴﻘﻒ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻋﻨﺪ ﻋﺠﻴﺰﺗﻬﻤﺎ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺭﺃﺳﻬﻤﺎ ﻟﺠﻬﺔ ﻳﻤﻴﻨﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﺎﺩﺓ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻵﻥ ﻛﺬﺍ ﻓﻲ ﻉ ﺵ ﻭﺑﺞ ﻭﺍﻟﺠﻤﻞ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﻣﻦ ﺣﻮﺍﺷﻲ ﺍﻟﻤﺼﺮﻳﻴﻦ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺎﺳﻮﺩﺍﻥ ﺍﻟﺤﻀﺮﻣﻲ ﻟﻜﻨﻪ ﻣﺠﺮﺩ ﺑﺤﺚ ﻭﺃﺧﺬ ﻣﻦ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﻭﻓﻌﻞ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﻭﺻﻠﺤﺎﺀ ﻓﻲ ﺟﻬﺘﻨﺎ ﺣﻀﺮﻣﻮﺕ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﺟﻌﻞ ﺭﺃﺱ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻦ ﺍﻟﻴﻤﻴﻦ ﺃﻳﻀﺎ ﻭﺍﻟﻤﻌﻮﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﻫﻮ ﺍﻟﻨﺺ ﺍﻥ ﻭﺟﺪ ﻣﻦ ﻣﺮﺟﺢ ﻻ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﻭﺍﻷﺧﺬ ﻭﺇﻻ ﻓﻤﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ . ﺍﻧﺖﻫﻰ ﻣﻦ ﻓﺘﺎﻭﻳﻪ .
ﻫﺬﺍ ﺇﻥ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﺍﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ﻋﻨﺬ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﺍﻟﺸﺮﻳﻒ ﻭﺇﻻ ﻓﺎﻷﻓﻀﻞ ﺟﻌﻞ ﺭﺃﺳﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻴﺴﺎﺭ ﻟﻴﻜﻮﻥ ﺭﺃﺳﻬﺎ ﺟﻬﺔ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﺍﻟﺸﺮﻳﻒ ﺳﻠﻮﻛﺎ ﻟﻸﺩﺏ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻭﺟﺮﻯ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺮﻣﻠﻲ ﻭﺃﺗﺒﺎﻋﻪ . ﻭﻥﻇﺮ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻲ ﺍﺳﺘﺜﻨﺎﺋﻪ ﻗﺎﻝ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﻭﺟﻪ ﻭﺟﻴﻪ . ﺇﻧﺘﻬﻰ ﺗﺮﺷﻴﺢ ﺍﻟﻤﺴﺘﻔﻴﺪﻳﻦ
ﺹ 142-141

● Kelima

Al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah, ulama bermadzab Syafii yang wafat tahun 974 H. Beliau menukilkan:

ﻭَﻓِﻲ ﻫَﺎﻣِﺶِ ﺍﻟْﻤُﻐْﻨِﻲ ﻟِﺼَﺎﺣِﺒِﻪِ ﻭَﺍﻟْﺄَﻭْﻟَﻰ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﺴَّﻤْﻬُﻮﺩِﻱُّ ﻓِﻲ ﺣَﻮَﺍﺷِﻲ ﺍﻟﺮَّﻭْﺿَﺔِ ﺟَﻌْﻞُ ﺭَﺃْﺱِ ﺍﻟﺬَّﻛَﺮِ ﻋَﻦْ ﻳَﺴَﺎﺭِ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﻟِﻴَﻜُﻮﻥَ ﻣُﻌْﻈَﻤُﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻳَﻤِﻴﻦِ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﺍ ﻫـ

“Dan di dalam catatan kaki Al-Mughni (Mughnil Muhtaj karya asy-Syarbini, pen) (terdapat keterangan) bahwa yang lebih utama sebagaimana pendapat as-Samhudi dalam Hasyiyah Ar-Raudlah (Raudlatut Thalibin karya an-Nawawi) adalah menjadikan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam agar sebagian besar tubuhnya berada di sisi kanan imam. Selesai.” (Tuhfatul Muhtaj Syarh Minhajith Thalibin: 11/186).

● Keenam

Berbeda dengan pendapat di atas, As Syekh Abdullah Basudan Al Hadlramy yang diikuti As Syekh Isma’il ‘Utsman Az Zayn Al Yamany (seorang ulama syafi’iyah asal yaman) dengan argumentasi sholat Rosulullah terhadap janazah (laki-laki dan perempuan) yang sudah dikuburkan- lebih cenderung berpendapat tidak membedakan posisi kepala janazah ketika disholati yaitu pada arah kanan imam/munfarid (arah utara untuk konteks Indonesia), baik janazah laki-laki maupun janazah perempuan atau banci.

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺎﺳﻮﺩﺍﻥ ﺍﻟﺤﻀﺮﻣﻲ : ﻟﻜﻨﻪ ﻣﺠﺮﺩ ﺑﺤﺚ . ﻭﺃﺧﺬ ﻣﻦ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﻭﻓﻌﻞ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﻭﺻﻠﺤﺎﺀ ﻓﻲ ﺟﻬﺘﻨﺎ ﺣﻀﺮﻣﻮﺕ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﺟﻌﻞ ﺭﺃﺱ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻦ ﺍﻟﻴﻤﻴﻦ ﺃﻳﻀﺎ . ﻭﺍﻟﻤﻌﻮﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﻫﻮ ﺍﻟﻨﺺ ﺇﻥ ﻭﺟﺪ ﻣﻦ ﻣﺮﺟﺢ ﻻ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﺒﺤﺚ ﻭﺍﻷﺧﺬ، ﻭ ﺇﻻ، ﻓﻤﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻫﻨﺎ ﻫﻮ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ ﺇﻫـ ﻣﻦ ﻓﺘﺎﻭﻳﻪ ﺇﻫـ

Fath al-‘Alaam III/172

■ Ulama Hanabilah

Menurut al-Allamah Abdullah bin al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah, ulama Nejd terdahulu. Beliau berkata:

ﻭﺃﻣﺎ ﺻﻔﺔ ﻣﻮﺿﻌﻬﻢ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻱ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻟﻠﺼﻼﺓ ﻋﻠﻴﻬﻢ، ﻓﺘﺠﻌﻞ ﺭﺅﻭﺳﻬﻢ ﻛﻠﻬﻢ ﻋﻦ ﻳﻤﻴﻦ ﺍﻹﻣﺎﻡ، ﻭﺗﺠﻌﻞ ﻭﺳﻂ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺣﺬﺍ ﺻﺪﺭ ﺍﻟﺮﺟﻞ، ﻟﻴﻘﻒ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻧﻮﻉ ﻣﻮﻗﻔﻪ، ﻷﻥ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺃﻥ ﻳﻘﻒ ﻋﻨﺪ ﺻﺪﺭ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻭﻭﺳﻂ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ .

“Adapun sifat letak kumpulan jenazah di depan imam untuk dishalati atas mereka, maka kepala mereka semua diletakkan di sisi kanan imam. Dan sisi tengah mayit wanita diluruskan dengan sisi dada mayit laki-laki agar imam dapat berdiri pada posisi yang tepat sesuai dengan macam mayit. Karena menurut as-Sunnah adalah berdiri di sisi dada mayit laki-laki dan sisi tengah mayit wanita.” (Ad-Durarus Sunniyyah fil Kutubin Najdiyyah: 5/83).

● Ulama Salafiyyah Masa Kini

Menurut asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah, ulama Madinah masa kini. Beliau ditanya:

ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ : ﻫﻞ ﺛﺒﺖ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺟﻌﻞ ﺭﺃﺱ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ﻋﻦ ﻳﺴﺎﺭ ﺍﻹﻣﺎﻡ، ﻭﺭﺃﺱ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻋﻦ ﻳﻤﻴﻨﻪ؟ ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ : ﻛﻠﻬﻢ ﻳﻜﻮﻧﻮﻥ ﻋﻦ ﻳﻤﻴﻨﻪ، ﻣﺜﻞ ﻭﺿﻌﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺒﺮ، ﻭﻣﺜﻠﻪ ﻟﻮ ﺻﻠﻰ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﻫﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺒﺮ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﻣﺴﺘﻘﺒﻞ ﺍﻟﻘﺒﻠﺔ، ﻭﻣﺎ ﻧﻌﺮﻑ ﺷﻴﺌﺎً ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺧﻼﻑ ﺫﻟﻚ .

Pertanyaan: “Apakah terdapat keterangan yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau menjadikan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam dan kepala mayit wanita di sebelah kanan imam?” Jawab: “Semua kepala mayit diletakkan di sebelah kanan imam seperti ketika diletakkan di kuburan. Demikian pula ketika menshalati mereka ketika mereka sudah dikubur. Maka si mayit di kuburannya menghadap kiblat dan kami tidak mengetahui keterangan yang menyelisihi ini.” (Syarh Sunan Abi Dawud: 17/159).

■ Ulama Hanafiyah

Menurut al-Allamah Ibnu Abidin rahimahullah, ulama bermadzab Hanafi yang wafat tahun 1252 H. Beliau menyatakan:

‏( ﻗَﻮْﻟُﻪُ ﻭَﺻَﺤَّﺖْ ﻟَﻮْ ﻭَﺿَﻌُﻮﺍ ﺇﻟَﺦْ ‏) ﻛَﺬَﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﺪَﺍﺋِﻊِ ، ﻭَﻓَﺴَّﺮَﻩُ ﻓِﻲ ﺷَﺮْﺡِ ﺍﻟْﻤُﻨْﻴَﺔِ ﻣَﻌْﺰِﻳًّﺎ ﻟِﻠﺘَّﺘَﺎﺭْﺧَﺎﻧِﻴَّﺔِ ﺑِﺄَﻥْ ﻭَﺿَﻌُﻮﺍ ﺭَﺃْﺳَﻪُ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﻠِﻲ ﻳَﺴَﺎﺭَ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﺍ ﻫـ ﻓَﺄَﻓَﺎﺩَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔَ ﻭَﺿْﻊُ ﺭَﺃْﺳِﻪِ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﻠِﻲ ﻳَﻤِﻴﻦَ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﻛَﻤَﺎ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑُ ﺍﻟْﺂﻥَ ، ﻭَﻟِﻬَﺬَﺍ ﻋَﻠَّﻞَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﺪَﺍﺋِﻊِ ﻟِﻠْﺈِﺳَﺎﺀَﺓِ ﺑِﻘَﻮْﻟِﻪِ ﻟِﺘَﻐْﻴِﻴﺮِﻫِﻢْ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔَ ﺍﻟْﻤُﺘَﻮَﺍﺭَﺛَﺔَ

“(Ucapan pemilik matan “Dan shalat jenazahnya tetap sah jika mereka meletakkan…dst”): maksudnya (sebagaimana dalam al-Bada’i (Bada’ius Shana’i karya Al-Kasani, pen), dan ditafsirkan dalam Syarh Al-Maniyyah)… adalah meletakkan kepala mayit di sisi kiri imam. Selesai. Maka keterangan ini memberikan faedah bahwa as-Sunnah di dalam meletakkan kepala mayit adalah di sisi kanan imam sebagaimana yang dikenal sekarang. Oleh karena itu penulis al-Bada’i memberi alasan jeleknya (meletakkan kepala mayit di sisi kiri imam, pen) dengan ucapannya “karena mereka telah mengubah as-Sunnah yang turun temurun.” (Raddul Mukhtar alad Durril Mukhtar: 6/282).

■ Ulama Malikiyah

Menurut penukilan al-Allamah Muhammad bin Yusuf al-Abdari rahimahullah, ulama bermadzhab Maliki yang wafat tahun 897 H. Beliau menukilkan:

‏( ﺭَﺃْﺱُ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻋَﻦْ ﻳَﻤِﻴﻨِﻪِ ‏) ﺍﺑْﻦُ ﻋَﺮَﻓَﺔَ : ﻳَﺠْﻌَﻞُ ﺭَﺃْﺱَ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻋَﻦْ ﻳَﻤِﻴﻦِ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﻓَﻠَﻮْ ﻋَﻜَﺲَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺳَﺤْﻨُﻮﻥَ ﻭَﺍﺑْﻦُ ﺍﻟْﻘَﺎﺳِﻢِ : ﺻَﻠَﺎﺗُﻬُﻢْ ﻣُﺠْﺰِﺋَﺔٌ ﻋَﻨْﻬُﻢْ . ﺍﺑْﻦُ ﺭُﺷْﺪٍ : ﻓَﺎﻟْﺄَﻣْﺮُ ﻓِﻲ ﺫَﻟِﻚَ ﻭَﺍﺳِﻊٌ .

“(Kepala mayit di sebelah kanan imam). Ibnu Arafah menyatakan bahwa kepala mayit diletakkan di sisi kanan imam, seandainya terbalik (kepala di posisi kiri, pen), maka menurut Sahnun dan Ibnul Qasim, maka shalat mereka telah mencukupi (tidak usah diulang, pen). Ibnu Rusyd (penulis Bidayatul Mujtahid, pen) berkata: “Perkara ini luas (boleh di kanan atau di kiri imam, pen).” (At-Taj wal Iklil Syarh Mukhtashar Khalil: 2/352).

Lain lagi menurut al-Allamah ad-Dasuqi rahimahullah, ulama bermadzhab Maliki yang wafat tahun 1230 H. Beliau berkata:

ﻭَ ‏( ﻗَﻮْﻟُﻪُ ﺭَﺃْﺱُ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻋَﻦْ ﻳَﻤِﻴﻨِﻪِ ‏) ﺟُﻤْﻠَﺔٌ ﺣَﺎﻟِﻴَّﺔٌ ﻣِﻦْ ﺇﻣَﺎﻡٍ ﻭَ ‏( ﻗَﻮْﻟُﻪُ ﺇﻟَّﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﻭْﺿَﺔِ ﺍﻟﺸَّﺮِﻳﻔَﺔِ ‏) ﺃَﻱْ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳَﺠْﻌَﻞُ ﺭَﺃْﺱَ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻋَﻠَﻰ ﻳَﺴَﺎﺭِ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﺟِﻬَﺔَ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮِ ﺍﻟﺸَّﺮِﻳﻒِ

“Dan ucapan matan (Kepala mayit di sebelah kanan imam) adalah jumlah yang menjadi hal dari imam. Dan ucapan matan (kecuali (jika mayit dishalatkan, pen) di Raudlah yang mulia), maksudnya adalah bahwa kepala mayit diletakkan di kiri imam pada arah kuburan ar-Rasul yang mulia.” (Hasyiyah ad-Dasuqi alasy Syarhil Kabir: 4/149).

● Dalam kitab Madzahib al-Arba’ah

ﻭﻭﻗﻮﻑ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻭﺍﻟﻤﻨﻔﺮﺩ ﻋﻠﻰ ﻭﺳﻂ ﺍﻟﺮﺟﻞ، ﻭﻋﻨﺪ ﻣﻨﻜﺒﻲ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ، ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺭﺃﺱ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻋﻦ ﻳﻤﻴﻨﻪ، ﺭﺟﻼً ﻛﺎﻥ ﺃﻭ ﺍﻣﺮﺃﺓ، ﺇﻻ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻭﺿﺔ ﺍﻟﺸﺮﻳﻔﺔ، ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻦ ﻳﺴﺎﺭﻩ ﻟﻴﻜﻮﻥ ﺟﻬﺔ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﺍﻟﺸﺮﻳﻒ؛ ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻤﺄﻣﻮﻡ ﻓﻴﻘﻒ ﺧﻠﻒ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻛﻤﺎ ﻳﻘﻒ ﻓﻲ ﻏﻴﺮﻫﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ . ‏( ﺍﻟﻔﻘﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺬﺍﻫﺐ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ : 1/475 ﻁ : ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﺔ ‏

Imam dan munfarid berdiri di tengah mayit lelaki dan pundak perempuan. Posisi kepala mayit di arah kanan imam, baik laki-laki atau perempuan, kecuali di Raudlah yang mulia. Jika disana, maka kepala mayit berada di arah kiri imam, agar lurus ke arah maqam Rasul yang mulia. Adapun makmum, maka ia berdiri di belakang imam seperti berdiri pada shalat-shalat yang lain. (Al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah; 1/475 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah)

■ Pangkal Perbedaan

Letak perbedaan pendapat mereka adalah pada anggapan terhadap mayit. Apakah mayit itu dianggap sebagai imam ataukah mayit itu dianggap sebagai makmum.

Kalangan jumhur Syafi’iyyah menganggap bahwa mayit itu dianggap sebagai makmum. Dan barisan makmum bagian kanan lebih utama daripada barisan sebelah kiri . Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan:

ﻭَﻋُﻠِّﻞَ ﺑِﺄَﻥَّ ﺟِﻬَﺔَ ﺍﻟْﻴَﻤِﻴﻦِ ﺃَﺷْﺮَﻑُ ﻭَﻗَﻀِﻴَّﺔُ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟْﻌِﻠَّﺔِ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺍﻟْﺄَﻓْﻀَﻞُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ ﺍﻟﺬَّﻛَﺮِ ﺟَﻌْﻠَﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻳَﻤِﻴﻦِ ﺍﻟْﻤُﺼَﻠِّﻲ ﻓَﻴَﻘِﻒُ ﻋِﻨْﺪَ ﺭَﺃْﺳِﻪِ ﻭَﻳَﻜُﻮﻥُ ﻏَﺎﻟِﺒُﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻳَﻤِﻴﻨِﻪِ ﻓِﻲ ﺟِﻬَﺔِ ﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﻭَﻫُﻮَ ﺧِﻠَﺎﻑُ ﻋَﻤَﻞِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ

“Dan (meletakkan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam, pen) diberi alasan, bahwa arah kanan adalah lebih utama. Konsekuensi dari alasan ini bahwa yang paling utama dari mayit laki-laki adalah meletakkannya di sisi kanan orang yang sholat. Maka ia berdiri di sisi kepala mayit laki-laki dan sebagian besar tubuhnya berada di sebelah kanannya di sisi timur. Dan ini menyelisihi perbuatan manusia.” (Tuhfatul Muhtaj ala Syarhil Minhaj: 11/186).

Kalangan Hanabilah menganggap mayit sebagai imam sehingga kebanyakan mereka meletakkan kepala mayit di sebelah kanan seperti kebiasaan manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menukilkan pendapat Abul Ma’ali dari kalangan Hanabilah:

ﻟَﻮْ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺟِﻨَﺎﺯَﺓٍ ﻭَﻫِﻲَ ﻣَﺤْﻤُﻮﻟَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﻋْﻨَﺎﻕِ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺩَﺍﺑَّﺔٍ ﺃَﻭْ ﺻَﻐِﻴﺮٍ ﻋَﻠَﻰ ﻳَﺪَﻱْ ﺭَﺟُﻞٍ ﻟَﻢْ ﻳَﺠُﺰْ ﻟِﺄَﻥَّ ﺍﻟْﺠِﻨَﺎﺯَﺓَ ﺑِﻤَﻨْﺰِﻟَﺔِ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ

“Jika seseorang menshalati jenazah sedangkan ia masih dibawa di atas leher-leher, atau di atas binatang atau masih dibawa seseorang, maka tidak boleh (dishalati). Ini karena jenazah itu dianggap sebagai imam .” (al-Fatawa al-Kubra: 5/360).

Pendapat Yang Dipilih

Penulis lebih memilih pendapat Syekh Isma’il ‘Utsman al-Zain al-Yamany ( 1352-1414 H), seorang ulama Syafi’iyah asal Yaman yang terkenal di Timur Tengah pada abad ini lebih cenderung berpendapat tidak membedakan posisi kepala jenazah laki-laki atau perempuan ketika dishalati yaitu pada arah kanan imam atau orang shalat secara sendiri.

Dalam rangka membela pendapatnya ini, beliau telah mengarang sebuah risalah kecil dengan judul, “Tahqiq al-Maqam fi Mauqif al-Mushalli ‘ala al-Janazah binnisbah lil Munfarid wal Imam”.

Argumentasi yang beliau sebutkan dalam kitab tersebut antara lain, shalat Rasulullah SAW terhadap janazah laki-laki dan perempuan yang sudah dikuburkan, dimana Rasulullah berdiri di sisi kepala laki-laki dan pinggul perempuan. Karena shalat Rasulullah tersebut dilakukan pada jenazah yang telah dikuburkan, tentu posisi arah kepalanya adalah sebelah kanan, baik itu laki-laki maupun perempuan.

Adapun keterangan bahwa Rasulullah pernah menshalati jenazah yang sudah dalam kuburan adalah keterangan Abu Hurairah yang menjelaskan sebagai berikut :

ﻭَﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ – ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ – ﻓِﻲ ﻗِﺼَّﺔِ ﺍَﻟْﻤَﺮْﺃَﺓِ ﺍَﻟَّﺘِﻲ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺗَﻘُﻢُّ ﺍَﻟْﻤَﺴْﺠِﺪَ – ﻗَﺎﻝَ : – ﻓَﺴَﺄَﻝَ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﺍَﻟﻨَّﺒِﻲُّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ : ﻣَﺎﺗَﺖْ , ﻓَﻘَﺎﻝَ : ” ﺃَﻓَﻠَﺎ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺁﺫَﻧْﺘُﻤُﻮﻧِﻲ ?” ﻓَﻜَﺄَﻧَّﻬُﻢْ ﺻَﻐَّﺮُﻭﺍ ﺃَﻣْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ” ﺩُﻟُّﻮﻧِﻲ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺒْﺮِﻫَﺎ ,” ﻓَﺪَﻟُّﻮﻩُ , ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ

Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. tentang kisah seorang perempuan yang sering menyapu masjid. Nabi SAW lalu bertanya tentang keberadaan perempuan tersebut. Orang-orang pun menjawab, “Dia telah meninggal!” Beliaupun bersabda, “Kenapa kalian tidak memberi kabar kepadaku? (Seolah-olah mereka menganggap remeh urusan perempuan tersebut). Tunjukkanlah kuburannya padaku!” Beliau kemudian mendatangi kuburan perempuan itu kemudian menshalatinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ditulis dari WordPress untuk Android

Tinggalkan komentar