Shalat Ied (hari raya) adalah ibadah shalat sunnah  yang dilakukan setiap hari raya idul fitri dan idul ad-ha. Shalat Ied termasuk dalam shalat sunnat muakkad, artinya shalat ini walaupun bersifat sunnah namun sangat penting sehingga sangat dianjurkan untuk tidak meninggalkannya.
Niat Shalat
Niat shalat ini, sebagaimana juga shalat-shalat yang lain cukup diucapkan didalam hati, yang terpenting adalah niat hanya semata karena Allah Ta’ala  semata dengan hati yang ikhlas dan mengharapkan Rido  Nya, apabila ingin dilafalkan jangan terlalu keras sehingga mengganggu Muslim lainnya, memang ada beberapa pendapat tentang niat ini gunakanlah dengan hikmah bijaksana.
Waktu dan tata cara pelaksanaan
Waktu shalat hari raya adalah setelah terbit matahari sampai condongnya matahari. Syarat, rukun dan sunnatnya sama seperti shalat yang lainnya. Hanya ditambah beberapa sunnat sebagai berikut :
- Berjamaah
- Takbir  tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakat kedua
- Mengangkat tangan setinggi bahu pada setiap takbir.
- Setelah takbir yang kedua sampai takbir yang terakhir membaca tasbih.
- Membaca surat Qaf dirakaat pertama dan surat Al Qomar di rakaat kedua. Atau surat Aâla dirakat pertama dan surat Al Ghasiyah pada rakaat kedua.
- Imam menyaringkan bacaannya.
- Khutbah dua kali setelah shalat sebagaimana khutbah jumâat
- Pada khutbah Idul Fitri memaparkan tentang zakat fitrah dan pada Idul Adha tentang hukum â hukum Qurban.
- Mandi, berhias, memakai pakaian sebaik-baiknya.
- Makan terlebih dahulu pada shalat Idul Fitri pada Shalat Idul Adha sebaliknya.
Hadits berhubungan dengan shalat id
- Diriwayatkan dari Abu Said, ia berkata : Adalah Nabi SAW. pada hari raya idul fitri dan idul adha keluar ke mushalla (padang untuk shalat), maka pertama yang beliau kerjakan adalah shalat, kemudian setelah selesai beliau berdiri menghadap kepada manusia sedang manusia masih duduk tertib pada shaf mereka, lalu beliau memberi nasihat dan wasiat (khatbah) apabila beliau hendak mengutus tentara atau ingin memerintahkan sesuatu yang telah beliau putuskan,beliau perintahkan setelah selesai beliau pergi. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
- Telah berkata Jaabir ra: Saya menyaksikan shalat ‘ied bersama Nabi saw. beliau memulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan tanpa iqamah, setelah selesai beliau berdiri bertekan atas Bilal, lalu memerintahkan manusia supaya bertaqwa kepada Allah, mendorong mereka untuk taat, menasihati manusia dan memperingatkan mereka, setelah selesai beliau turun mendatangai shaf wanita dan selanjutnya beliau memperingatkan mereka. (H.R : Muslim)
- Diriwayatkan dari Ummu ‘Atiyah ra. ia berkata : Rasulullah SAW. memerintahkan kami keluar pada ‘idul fitri dan ‘idul adhha semua gadis-gadis, wanita-wanita yang haidh, wanita-wanita yang tinggal dalam kamarnya. Adapun wanita yang sedang haid mengasingkan diri dari mushalla tempat shalat ‘ied, mereka menyaksikan kebaikan dan mendengarkan da’wah kaum muslimin (mendengarkan khatbah). Saya berkata : Yaa Rasulullah bagaimana dengan kami yang tidak mempunyai jilbab? Beliau bersabda : Supaya saudaranya meminjamkan kepadanya dari jilbabnya. (H.R : Jama’ah)
- Diriwayatkan dariAnas bin Malik ra. ia berkata : Adalah Nabi SAWÂ Tidak berangkat menuju mushalla kecuali beliau memakan beberapa biji kurma, dan beliau memakannya dalam jumlah bilangan ganjil. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
- Diriwayatkan dari Zaid bin Arqom ra. ia berkata : Nabi SAW. Mendirikan shalat ‘ied, kemudian beliau memberikan ruhkshah / kemudahan dalam menunaikan shalat Jumat, kemudian beliau bersabda : Barang siapa yang mau shalat jum’at, maka kerjakanlah.(H.R : Imam yang lima kecuali At-Tirmidzi)
- Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari neneknya, ia berkata : Sesungguhnya Nabi SAW.bertakbirpada shalat ‘ied dua belas kali takbir. dalam raka’at pertama tujuh kali takbir dan pada raka’at yang kedua lima kali takbir dan tidak shalat sunnah sebelumnya dan juga sesudahnya. (H.R : Amad dan Ibnu Majah)
- Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud ra. bertakbir pada hari-hari tasyriq dengan lafadz sbb (artinya) : Allah maha besar, Allah maha besar, tidak ada Illah melainkan Allah dan Allah maha besar, Allah maha besar dan bagiNya segala puji. (H.R Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih)
- Diriwayatkan dari Abi Umair bin Anas, diriwayatkan dari seorang pamannya dari golongan Anshar, ia berkata : Mereka berkata : Karena tertutup awan maka tidak terlihat oleh kami hilal syawal, maka pada pagi harinya kami masih tetap shaum, kemudian datanglah satu kafilah berkendaraan di akhir siang, mereka bersaksi dihadapan Rasulullah saw.bahwa mereka kemarin melihat hilal. Maka Rasulullah SAW. memerintahkan semua manusia (ummat Islam) agar berbuka pada hari itu dan keluar menunaikan shalat ‘ied pada hari esoknya. (H.R : Lima kecuali At-Tirmidzi)
- Diriwayatkan dari Azzuhri, ia berkata : Adalah manusia (para sahabat) bertakbir pada hari raya ketika mereka keluar dari rumah-rumah mereka menuju tempat shalat ‘ied sampai mereka tiba di mushalla (tempat shalat ‘ied) dan terus bertakbir sampai imam datang, apabila imam telah datang, mereka diam dan apabila imam ber takbir maka merekapun ikut bertakbir. (H.R: Ibnu Abi Syaibah)
WAKTU PELAKSANAAN SHALAT ID
Abdullah bin Busr sahabat Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam pernah keluar bersama manusia pada hari Idul Fithri atau Idul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan ia berkata : âSesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian itu tatkala tasbihâ[1]
Ini riwayat yang paling shahih[2] dalam bab ini, diriwayatkan juga dari selainnya akan tetapi tidak tsabit dari sisi isnadnya.
Berkata Ibnul Qayyim :
âBeliau Shallallahu âalaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fithri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya upaya dia untuk mengikuti sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari terbitâ [Zadul Ma’ad 1/442]
Shiddiq Hasan Khan menyatakan :
âWaktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah setelah tingginya matahari seukuran satu tombak sampai tergelincir. Dan terjadi ijma (kesepatakan) atas apa yang diambil faedah dari hadits-hadits, sekalipun tidak tegak hujjah dengan semisalnya. Adapun akhir waktunya adalah saat tergelincir matahariâ [Al-Mau’idhah Al-Hasanah 43,44]
Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi :
Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang paling utama, shalat Idul Adha dilakukan di awal waktu agar manusia dapat menyembelih hewan-hewan kurban mereka, sedangkan shalat Idul Fithri diakhirkan agar manusia dapat mengeluarkan zakat Fithri merekaâ [Minhajul Muslim 278]
Peringatan :
Jika tidak diketahui hari Id kecuali pada akhir waktu maka shalat Id dikerjakan pada keesokan paginya.
Abu Daud 1157, An-Nasaâi 3/180 dan Ibnu Majah 1653 telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Umair bin Anas, dari paman-pamannya yang termasuk sahabat Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam : âMereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal (bulan tanggal satu) kemarin, maka Nabi memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi ke mushalla mereka keesokan paginyaâ
SHALAT ID TANPA AZAN DAN IQAMAH
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu âanhu ia berkata :
âArtinya : Aku pernah shalat dua hari raya bersama Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam lebih dari sekali dua kali, tanpa dikumandangkan azan dan tanpa iqamahâ [Riwayat Muslim 887, Abu Daud 1148 dan Tirmidzi 532]
Ibnu Abbas dan Jabir Radhiyallahu âanhum berkata :
âArtinya : Tidak pernah dikumandangkan azan (untuk shalat Id -pent) pada hari Idul Fithri dan Idul Adhaâ [Riwayat Muslim 887, Abu Daud 1148 dan Tirmidzi 532]
Berkata Ibnul Qayyim :
âBeliau Shallallahu âalaihi wa sallam apabila tiba di mushalla (tanah lapang), beliau memulai shalat tanpa azan dan tanpa iqamah, dan tidak pula ucapan âAsh-Shalatu Jamiâahâ. Yang sunnah semua itu tidak dilakukan. [Zaadul Ma’ad 1/442]
Imam As-Shanâani berkata dalam memberi komentar terhadap atsar-atsar dalam bab ini :
âIni merupakan dalil tidak disyariatkannya azan dan iqamah dalam shalat Id, karena (mengumandangkan) azan dan iqamah dalam shalat Id adalah bidâahâ [Zaadul Ma’ad 1/442]
TATA CARA SHALAT ID
*
- Pertama : Jumlah rakaâat shalat Id ada dua berdasaran riwayat Umar radhiyallahu âanhu.
âArtinya : Shalat safar itu ada dua rakaâat, shalat Idul Adha dua rakaâat dan shalat Idul Fithri dua rakaâat. dikerjakan dengan sempurna tanpa qashar berdasarkan sabda Muhammad Shallallahu âalaihi wa sallamâ [Dikeluarkan oleh Ahmad 1/370, An-Nasa’i 3/183, At-Thahawi dalam Syarhu Ma’anil Al Atsar 1/421 dan Al-Baihaqi 3/200 dan sanadnya Shahih]
- Kedua : Rakaat pertama, seperti halnya semua shalat, dimulai dengan takbiratul ihram, selanjutnya bertakbir sebanyak tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua bertakbir sebanyak lima kali, tidak termasuk takbir intiqal (takbir perpindahan dari satu gerakan ke gerakan lain,-pent)
Dari Aisyah Radhiyallahu âanha, ia berkata :
âArtinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam bertakbir dalam shalat Idul Fithri dan Idul Adha, pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir rukuâ [1]
Berkata Imam Al-Baghawi :
âIni merupakan perkataan mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang setelah mereka, bahwa beliau shallallahu âalaihi wa sallam bertakbir pada rakaat pertama shalat Id sebanyak tujuh kali selain takbir pembukaan, dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali selain takbir ketika berdiri sebelum membaca (Al-Fatihah). Diriwayatkan yang demikian dari Abu Bakar, Umar, Ali, dan selainnyaâ [Ia menukilkan nama-nama yang berpendapat demikian, sebagaimana dalam ” Syarhus Sunnah 4/309. Lihat ‘Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam’ 24/220,221]
- Ketiga : Tidak ada yang shahih satu riwayatpun dari Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan mengucapkan takbir-takbir shalat Id[2] Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata : âIbnu Umar -dengan semangat ittibaânya kepada Rasul- mengangkat kedua tangannya ketika mengucapkan setiap takbirâ [Zadul Ma’ad 1/441]
Aku katakan : Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam.
Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam âTamamul Minnahâ hal 348 :
âMengangkat tangan ketika bertakbir dalam shalat Id diriwayatkan dari Umar dan putranya -Radhiyallahu anhuma-, tidaklah riwayat ini dapat dijadikan sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat Umar dan putranya di sini tidak shahih.
Adapun dari Umar, Al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanad yang dlaif (lemah). Sedangkan riwayat dari putranya, belum aku dapatkan sekarangâ
Dalam âAhkmul Janaizâ hal 148, berkata Syaikh kami :
âSiapa yang menganggap bahwasanya Ibnu Umar tidak mengerjakan hal itu kecuali dengan tauqif dari Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam, maka silakan ia untuk mengangkat tangan ketika bertakbirâ.
Keempat : Tidak shahih dari Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam satu dzikir tertentu yang diucapkan di antara takbir-takbir Id. Akan tetapi ada atsar dari Ibnu Masâud Radhiyallahu âanhu [3] tentang hal ini. Ibnu Masâud berkata :
âArtinya : Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah Azza wa Jallaâ
Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah :
â(Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam) diam sejenak di antara dua takbir, namun tidak dihapal dari beliau dzikir tertentu yang dibaca di antara takbir-takbir tersebutâ.
Aku katakan : Apa yang telah aku katakan dalam masalah mengangkat kedua tangan bersama takbir, juga akan kukatakan dalam masalah ini.
- Kelima : Apabila telah sempurna takbir, mulai membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu membaca surat Qaf pada salah satu rakaat dan pada rakaat lain membaca surat Al-Qamar[4] Terkadang dalam dua rakaat itu beliau membaca surat Al-Aâla dan surat Al-Ghasyiyah[5]
Berkata Ibnul Qaooyim Rahimahullah :
âTelah shahih dari beliau bacaan surat-surat ini, dan tidak shahih dari belaiu selain ituâ[6]
- Keenam : (Setelah melakukan hal di atas) selebihnya sama seperti shalat-shalat biasa, tidak berbeda sedikitpun. [7]
- Ketujuh : Siapa yang luput darinya (tidak mendapatkan) shalat Id berjamaâah, maka hendaklah ia shalat dua rakaâat.
Dalam hal ini berkata Imam Bukhari Rahimahullah dalam âShahihnyaâ :
âBab : Apabila seseorang luput dari shalat Id hendaklah ia shalat dua rakaâatâ [Shahih Bukhari 1/134, 135]
Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam âFathul Bariâ 2/550 berkata setelah menyebutkan tarjumah ini (judul bab yang diberi oleh Imam Bukhari di atas).
Dalam tarjumah ini ada dua hukum :
-
Disyariatkan menyusul shalat Id jika luput mengerjakan secara berjamaah, sama saja apakah dengan terpaksa atau pilihan.
-
Shalat Id yang luput dikerjakan diganti dengan shalat dua rakaâat
Berkata Athaâ : âApabila seseorang kehilangan shalat Id hendaknya ia shalat dua rakaatâ [sama dengan di atas]
Al-Allamah Waliullah Ad-Dahlawi menyatakan :
âIni adalah madzhabnya Syafiâi, yaitu jika seseorang tidak mendapati shalat Id bersama imam, maka hendaklah ia shalat dua rakat, sehingga ia mendapatkan keutamaan shalat Id sekalipun luput darinya keutamaan shalat berjamaah dengan imamâ.
Adapun menurut madzhab Hanafi, tidak ada qadla[8] untuk shalat Id. Kalau kehilangan shalat bersama imam, maka telah hilang sama sekaliâ[9]
Berkata Imam Malik dalam âAl-Muwathaâ [10]
âSetiap yang shalat dua hari raya sendiri, baik laki-lai maupun perempuan, maka aku berpendapat agar ia bertakbir pada rakaat pertama tujuh kali sebelum membaca (Al-Fatihah) dan lima kali pada rakaâat kedua sebelum membaca (Al-Fatihah)â
Orang yang terlambat dari shalat Id, hendaklah ia melakukan shalat yang tata caranya seperti shalat Id. sebagaimana shalat-shalat lain [Al-Mughni 2/212]
- Kedelapan : Takbir (shalat Id) hukumnya sunnah, tidak batal shalat dengan meninggalkannya secara sengaja atau karena lupa tanpa ada perselisihan [1111] Namun orang yang meninggalkannya -tanpa diragukan lagi- berarti menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam.
âââââââââââââââââââââââââââ-
KHUTBAH SETELAH SHALAT ID
*
*
Termasuk sunnah dalam khutbah Id adalah dilakukan setelah shalat. Dalam permasalahan iniBukhari membuat bab dalam kitab âShahihânya [1] 1: âBab Khutbah Setelah Shalat Idâ.
Ibnu Abbas berkata :
âArtinya : Aku menghadiri shalat Id bersama Rasulullah Shallallahu âalaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu âanhum. Semua mereka melakukan shalat sebelum khutbahâ [Riwayat Bukhari 963, Muslim 884 dan Ahmad 1/331 dan 346]
Ibnu Umar berkata :
âArtinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar menunaikan shalat Idul Fithri dan Idul Adha sebelum khutbahâ [Riwayat Bukhari 963, Muslim 888, At-Tirmidzi 531, An-Nasa’i 3/183, Ibnu Majah 1276 dan Ahmad 2/12 dan 38]
Waliullah Ad-Dahlawi menyatakan ketika mengomentari bab yang dibuat Bukhari di atas [2] :
âYakni : Sunnah Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam dan yang diamalkan Al-Khulafaur Rasyidin adalah khutbah setelah shalat. Adapun perubahan yang terjadi -yang aku maksud adalah mendahulukan khutbah dari shalat dengan mengqiyaskan dengan shalat Jumâat- merupakan perbuatan bidâah yang bersumber dari Marwanâ [Dia adalah Marwan Ibnul Hakam bin Abil ‘Ash, Khalifah dari Banni Umayyah wafat tahun 65H, biografinya dalam ‘Tarikh Ath-Thabari 7/34]
Berkata Imam Tirmidzi [3] :
âYang diamalkan dalam hal ini di sisi ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam dan selain mereka adalah shalat Idul Fithri dan Adha dikerjakan sebelum khutbah. orang pertama yang berkhutbah sebelum shalat adalah Marwan bin Al-Hakamâ [Lihat kitab Al-Umm 1/235-236 oleh Imam ASy-Syafi’i Rahimahullah dan Aridlah Al-Ahwadzi 3/3-6 oleh Al-qadli Ibnul Arabi Al-Maliki]
*
TIDAK WAJIB MENGHADIRI (MENDENGARKAN) KHUTBAH
*
Abi Said Al-Khudri Radhiyallahu âanhu berkata : âArtinya : Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla pada hari Idul Fithri dan Adha. Maka yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia sedangkan mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau lalu memberi pelajaran, wasiat dan perintahâ [Dikeluarkan oleh Bukhari 956, Muslim 889, An-Nasa’i 3/187, Al-Baihaqi 3/280 dan Ahmad 3/36 dan 54]
Khutbah Id sebagaimana khutbah-khutbah yang lain, dibuka dengan pujian dan sanjungan kepada Allah Yang Maha Mulia.
Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah :
âBeliau Shallallahu âalaihi wa sallam biasa membuka semua khutbahnya dengan pujian untuk Allah. Tidak ada satu hadits pun yang dihafal (hadits shahih yang menyatakan) bahwa beliau membuka khutbah Idul Fitri dan Adha dengan takbir. Adapaun yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam âSunanânya[4] dari Saâad Al-Quradhi muadzin Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam, bahwa beliau memperbanyak bacaan takbir dalam khutbah dua Id, hal itu tidaklah menunjukkan bahwa beliau membuka khutbahnya dengan takbirâ [Zadul Ma’ad 1/447-448]
Tidak ada yang shahih dalam sunnah bahwa khutbah Id dilakukan dua kali dengan dipisah antara keduanya dengan duduk.
Riwayat yang ada tentang hal ini lemah sekali. Al-Bazzar meriwayatkan dalam âMusnadânya (no. 53-Musnad Saâad) dari gurunya Abdullah bin Syabib dengan sanadnya dari Saâad Radhiyallahu âanhu bahwa Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam berkhutbah dengan dua khutbah dan beliau memisahkan di antara keduanya dengan duduk.
Bukhari berkata tentang Abdullah bin Syabib : âHaditsnya mungkarâ
Maka khutbah Id itu tetap satu kali seperti asalnya.
Menghadiri khutbah Id tidaklah wajib seperti menghadiri shalat, karena ada riwayat dari Abdullah bin Saib, ia berkata :
âArtinya : Aku menghadiri Id bersama Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam. Ketika selesai shalat, beliau bersabda : âSesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa yang ingin tetap duduk untuk mendengarkan maka duduklah dan siapa yang hendak pergi maka pergilahâ [Diriwayatkan Abu Daud 1155, An-Nasa’i 3/185, Ibnu Majah 1290, dan Al-Hakim 1/295, dan isnadnya Shahih. Lihat Irwaul Ghalil 3.96-98]
Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah [5] :
âNabi Shallallahu âalaihi wa sallam memberi keringanan bagi yang meghadiri shala Id untuk dudukmendengarkan khutbah atau pergiâ [Lihat Majmu Fatawa Syaikhul Islam 24/214]
âââââââââââââââââââââââ
1 Yakni waktu shalat sunnah, ketika telah lewat waktu diharamkannya shalat. lihat Fathul Bari 2/457 dan An-Nihayah 2/331
Bukhari menyebutkan hadits ini secara muallaq dalam shahihnya 2/456 dan Abu Daud meriwayatkan secara bersambung 1135, Ibnu Majah 1317, Al-Hakim 1/295 dan Al-Baihaqi 3/282 dan sanadnya Shahih
Riwayat Abu Daud 1150, Ibnu Majah 1280, Ahmad 6/70 dan Al-Baihaqi 3/287 dan sanadnya Shahih. Peringatan : Termasuk sunnah, takbir dilakukan sebelum membaca (Al-Fatihah). sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud 1152, Ibnu Majah 1278 dan Ahmad 2/180 dari Amr bin Syuâaib dari bapaknya dari kakeknya, kakeknya berkata : âRasulullah shallallahu âalaihi wa sallam bertakbir dalam shalat Id tujuh kali pada rakaat pertama kemudian beliau membaca syrat, lalu bertakbir dan rukuâ , kemudian beliau sujud, lalu berdiri dan bertakbir lima kali, kemudian beliau membaca surat, takbir lalu rukuâ, kemudian sujudâ. Hadits ini hasan dengan pendukung-pendukungnya. Lihat Irwaul Ghalil 3/108-112. Yang menyelisihi ini tidaklah benar, sebagaimana diterangkan oleh Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Maâad 1/443,444
2 Lihat Irwaul Ghalil 3/112-114
3 Diriwayatkan Al-Baihaqi 3/291 dengan sanad yang jayyid (bagus
4 Diriwayatkan oleh Muslim 891, An-Nasaâi 8413, At-Tirmidzi 534 Ibnu Majah 1282 dari Abi Waqid Al-Laitsi radhiyallahu âahu
5 Diriwayatkan oleh Muslim 878, At-Tirmidzi 533 An-Nasaâi 3/184 Ibnu Majah 1281 dari Nuâman bin Basyir Radhiyallahu âanhu
6 Zadul Maâad 1/443, lihat Majalah Al-Azhar 7/193. Sebagian ahli ilmu telah berbicara tentang sisi hikmah dibacanya surat-usrat ini, lihat ucapan mereka dalam âSyarhu Muslimâ 6/182 dan Nailul Authar 3/297
7 Untuk mengetahui hal itu disertai dalil-dalilnya lihat tulisan ustadz kami Al-Albani dalam kitabnya âShifat Shalatun Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam. Kitab ini dicetak berkali-kali. Dan lihat risalahku âAt-Tadzkirah fi shifat Wudhu wa Shalatin Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam, risalah ringkas.
8 Tidak dinamakan ini qadla kecuali jika keluar dari waktu shala secara asal
9 Syarhu Tarajum Abwabil Bukhari 80 dan lihat kitab Al-Majmu 5/27-29
10 Nomor : 592 -dengan riwayat Abi Mushâab.
11 Al-Mughni 2/244 oleh Ibnu Qudamah
1 Kitabul Iedain, bab nomor 8. Lihat Fathul Bari 2/453
2 Syrahu Tarajum Abwabil Bukhari 79
3 Dalam Sunan Tirmidzi 2/411
4 Dengan nomor 1287, dan diriwayatkan juga oleh Al-Hakim 3/607, Al-Baihaqi 3/299 dari Abdurrahman bin Saâad bin Ammar bin Saâad muadzin. Abdurrahman berkata : âTelah menceritakan kepadaku bapakku dari bapaknya dari kakeknya âŚâ lalu ia menyebutkannya. Riwayat ini isnadnya lemah, karena Abdurrahman bin Saâad rawi yang dhaif, sedangkan bapak dan kakeknya adalah rawi yang majhul (tidak dikenal)
5 Zadul Maâad 1/448
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu âalaihi wa sallam , Shifat shaum an Nabi Shallallahu âalaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab âMalam Lailatul Qadarâ. Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid)