Syirkah Menurut Empat Mazhab

Meskipun kaum muslimin bersepakat
bahwa syirkah hukumnya boleh, namun
berbeda pendapat dalam hal pembagian
bentuknya.22 Menurut Abdurraham Al-Jaziri
dalam Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-
Arba’ah, Hanifiyah membagi syirkah menjadi
menjadi dua, yaitu syirkah melalui kepemilikan (syirkah milk) dan syirkah melalui perikatan (syirkah ‘ukûd). Syirkah milk, yaitu kepemilikan dua orang atau lebih tanpa melaluiperikatan.23 

Kemudian syirkah milk terbagi menjadi syirkah jabari dan ihtiyâri. Adapun syirkah jabari yaitu bergabungnya dua orang atau lebih dalam kepemilikan harta benda tanpa usaha, seperti harta warisan.24 Sedangkan syirkah ikhtiyâri yaitu berkumpulnya harta benda melalui usaha kedua pihak, seperti percampuran harta hasil kerjasama transaksi jual beli. Menurut Sayid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah, syirkah milk hukumnya tidak boleh karena masing-masing partisipan dapat mentasyarruf-kan bagian hartanya tanpa izin, karenanya pihak lain seolah-olah orang asing yang tidak memiliki kewenangan terhadap harta tersebut. 26 

Sedangkan menurut Wahbah Zuhaily dalam kitab Al-Fiqh al-Islâmī wa Adilatuhu, menyatakan bahwa masing-masing pihak dalam syirkah milk dengan segala bentuknya bagaikan orang asing, sehingga tidak boleh men-tasyarruf-kan harta tanpa izin jika bukan menjadi kewenanganya. 27 Syirkah ‘ukûd yaitu suatu akad yang terjadi antara dua pihak  atau lebih untuk bersekutu dalam hal harta dan keuntungan. 28 

Menurut Hanabilah, syirkah terdiri dari lima macam, yaitu syirkah ’inân, mufâwadhah, abdân, wujûh dan mudhârabah. 

Sedangkan menurut Hanafiyah, syirkah terdiri dari enam macam, yaitu syirkah amwâl, a’mâl,  dan wujûh. Kemudian dari masing-masing syirkah tersebut dibagi menjadi mufâwadhah dan ’inân. Menurut pendapat Mâlikiyah dan Syâfi‟iyah, syirkah terbagi menjadi empat macam, yaitu syirkah ’inân, mufâwadhah, abdân dan wujûh. 29 

Adanya perbedaan pembagian bentuk tersebut tentu menimbulkan pendapat hukum yang berbeda pula. Karenanya mengetahui alasan masing-masing fuqaha adalah sangat penting sebelum penulis mengambil kesimpulan. 

Para ulama fiqh bersepakat dalam hal kebolehan syirkah ’inân, namun untuk syirkah lainnya masih diperselisihkan ke-syar’iahannya. 

Syafi‟iyah, termasuk Zahiriyah dan Imamiyah menganggap semua bentuk syirkah hukumnya batil kecuali ’inân mudhârabah. 

Sedangkan dan Hanabilah membolehkan semua syirkah kecuali syirkah mufâwadhah. 

Malikiyah membolehkan semua syirkah kecuali syirkah wujûh. 

Hanafiyah dan Zaidiyah cendrung membolehkan semua syirkah selama memenuhi rukun dan syaratnya. 30 Meskipun mudhârabah merupakan bagian dari syirkah, namun tidak masuk dalam pembahasan ini. 

Berikut adalah beberapa argumentasi yang dibangun oleh masingmasing mazhab terkait bentuk-bentuk syirkah. 

 Syirkah ’Inân Syirkah ’inân adalah persekutuan modal antara dua pihak untuk menjalankan usaha. Apabila usahanya memperoleh keuntungan, maka akan dibagi diantara keduanya. Dalam hal ini tidak menyaratkan adanya kesamaan modal, tasyarruf dan pembagian keuntungan. Modal salah satu pihak boleh lebih besar dari pihak lainnya, begitupula dalam hal tanggung jawabnya. Kebolehan kesamaan pembagian keuntungan seperti halnya kebolehan perbedaannya berdasarkan atas kesepakatan diantara mereka. 32 31 Menurut Zuhaily, Syirkah ’inân hukumnya boleh secara ijma’. Adapun perbedaanya terdapat pada syarat-syaratnya sebagaimana pada penamaannya. 

Syirkah Mufâwadhah Mufâwadhah secara bahasa berarti kesamaan (al-musâwâh). 33 Sedangkan secara istilah yaitu perikatan antara dua orang atau lebih melalui persekutuan usaha dengan syarat adanya kesamaan modal, tasyarruf, dan tanggungjawabnya terhadap hutang. Masingmasing partner menjadi penjamin (kafīlân) partner lainnya dalam melakukan transaksi jual beli. Masing-masing partner terikat dengan kewajiban partner lainnya terkait klaim selama bertransaksi. Apa yang menjadi kewajiban salah satu partner menjadi kewajiban partner lainnya, yaitu keduanya saling tergabung dalam berbagai hak dan kewajiban yang terkait dengan transaksi di dalamnya.34 

Hanifiyah dan Zaidiyah membolehkan syirkah mufâwadhah. Begitupula Malikiyah juga membolehkan syirkah mufâwadhah meskipun tanpa menyebutkan maksud seperti Hanifiyah.36 

Tidak ada perbedaan pendapat antara Imam Malik dengan Abu Hanifah terkait dengan syarat mufâwadhah. Menurut Abu Hanifah, salah satu syarat mufâwadhah adalah kesamaan dalam hal jumlah modal. Karenanya menurut Imam Malik, tanpa adanya syarat kesamaan modal berarti identik dengan syirkah „inân.37 Sedangkan yang tidak membolehkan syirkah mufâwadhah adalah Syafi‟iyah, Hanabilah, dan jumhur fuqaha, disebabkan akad tersebut tidak ada dalil syar’inya. Memberlakukan syarat kesamaan dalam syirkah ini merupakan sesuatu yang sulit, karenanya di dalam syirkah tersebut terkadung unsur gharâr dan jahâlah.38 Syâfi‟iyah tidak membolehkan dengan mengatakan: “Jika tidak menjadikan syirkah mufâwadhah sebagai sesuatu yang batil, maka sungguh batil pengetahuannya di dunia.” 39 

 Syirkah Wujûh Syirkah wujûh yaitu pembelian yang dilakukan oleh dua orang ataulebih tanpa menggunakan modal melainkan menggantungkan pada kepercayaan dan keahliannya dalam berdagang. Syirkah antara mereka ialah untuk mencari keuntungan yaitu syirkah melalui kesepakatan tanpa profesi maupun harta. Menurut Hanafiyah dan Hanabilah syirkah wujûh hukumnya boleh karena mengerjakan suatu pekerjaan boleh hukumnya. Masing-masing yang terikat perjanjian boleh berbeda kepemilikan terhadap sesuatu yang ditransaksikan. Adapun apabila memperoleh kuntungan, maka akan dibagi diantara keduanya sesuai porsi (konstribusi) masing-masing dalam kepemilikan. Namun Syafi‟iyah dan Malikiyah membatalkannya, karena suatu syirkah sesungguhnya terkait dengan harta dan pekerjaan.40 

Ibnu Rusy dalam kitab Bidâyah Al-Mustahid: Nihâyah al-Muqtashid menyatakan bahwa syirkah wujûh merupakan bentuk jaminan kepada pelaku usaha yang tidak memiliki modal. Kemudian ia mengutip Imam Malik dan Syafi‟I yang menyatakan bahwa syirkah harus terkait dengan harta dan pekerjaan. Tanpa adanya kedua unsur tersebut dalam masalah syirkah dapat menimbulkan gharâr. Dikatakan demikian karena masing-masing pihak saling bertukar pekerjaan tanpa adanya pembatasan profesi dan kekhususan pekerjaan.41 

 Syirkah Abdân Syirkah abdân adalah kesepakatan antara dua pihak terhadap suatu penerimaan pekerjaan yang dapat mendatangkan upah untuk dibagi diantara keduanya sesuai kesepakatan.42 Dalil kebolehan syirkah ini adalah apa yang diriwayatkan Abu ‟Ubaidah dari Abdullah yang menyatakan:

 سذت وىَ ةُصَ اًُف ذعسو ساًعو اَأو دكشرشا ,لاق : ءٍشت ساًعو اَأ ءًجأ لمو ٍَيرسأت ذعس ءاجف( ىتأ ِاوسحجاي ٍتاو ٍئاسُناو دواد).43 

Syirkah abdân hukumnya boleh menurut Malikiyah, Hanifiyah, Hanabilah, dan Zahidiyah. Karena maksud dari syirkah tersebut adalah untuk menghasilkan keuntungan. Dan hal itu mungkin terjadi melalui pemberdayaan. Sesungguhnya manusia saling menjalankan usaha baik melalui syirkah harta maupun dengan pekerjaan seperti halnya mudhârabah. Dan itu merupakan salah satu dari berbagai macam pekrjaan.44 

 Menurut Syafi‟i, bentuk syirkah ini hukumnya batil, karena suatu syirkah di dalamnya harus mengkhususkan pada harta bukan pada pekerjaan.45  

Dalam kitab Al-Rûdhat Al-Nadiyah, sebagaimana dikutip Sayid Sabiq, dinyatakan bahwa penamaan yang terjadi pada kitab-kitab furu’ tentang bentuk-bentuk syirkah, seperti mufâwadhah,’inân, wujûh, dan abdân, tidaklah disebutkan secara syar’iyah maupun lughaiyah. Tetapi istilah-istilah tersebut terjadi suatu pembaruhan. 

Tidak ada larangan bagi kedua pihak untuk menggabungkan hartanya atau bisnisnya sebagaimana dia memaknai istilah mufâwadhah.46 Karena bentuk-bentuk syirkah secara istilah tidak disebutkan dalam nash-nash, berarti Allah memberi peluang kepada hamba-hambaNya untuk melakukan ijtihad. Apa yang dilakukan Al-Mazâhib Al-Arba’ah terkait bentuk-bentuk syirkah merupakan bagian dari ijtihad. Implementasi Syirkah dalam Konteks Modern Syirkah merupakan praktik muamalah masa jahiliyah yang diadopsi ke dalam Islam. Dalam fiqh Islam, hukum asal dari syirkah adalah boleh.47 Landasan syariat kebolehan syirkah terdapat dalam kitab al-Qur‟an, as-Sunnah dan ijma’.48 Kebolehan syirkah dapat dikembangkan ke dalam berbagai bentuk berdasarkan ijtihad sebagaimana dicontohkan oleh para fuqaha. Setelah merujuk para nash-nash syara’, pendapat para fuqaha dapat dijadikan referensi untuk pengembangan konsep syirkah dan implementasinya dalam konteks modern. Untuk mengimplentasikan bentuk-bentuk syirkah diperlukan langkah-langkah tertentu, yaitu pertama, pastikan apakah masing-masing peserta persekutuan turut menjalankan perusahaan atau tidak. 

Apabila mereka keseluruhan turut menjalankan perusahaan secara langsung, maka akad yang digunakan adalah musyârakah. Jika akad musyârakah (syirkah) yang digunakan untuk mendirikan perusahaan, maka kemungkinan modal yang disertakan masing-masing pihak dapat berwujud: (a) Apabila modal yang disertakan masing-masing pihak berupa uang yang jumlahnya sama (Rp. X dan Rp. X) maka akad yang digunakan syirkah mufawadhah; (b) Apabila modal yang disertakan masing-masing pihak berupa uang dengan jumlah yang berbeda (Rp. X dan Rp. Y), maka akad yang digunakan syirkah ’inan; (c) Apabila modal yang disertakan masing-masing pihak berupa pekerjaan (al-a’mal), maka akad yang digunakan syirkah ’abdan; (d) Apabila masing-masing pihak menjalankan usaha tanpa modal melainkan sebatas reputasi/ kepercayaan, maka akad yang digunakan adakah syirkah wujuh.49 Kedua, apabila yang menjalankan perusahaan hanya pihak yang menyertakan tenaga (mudhârib), sedangkan pihak yang menyertakan modal harta (shâhib al-mâl) tidak ikut serta dalam menjalankan perusahaan, maka akad yang digunakan adalah mudhârabah. Dalam hal ini perlu dipahami, bahwa meskipun mudhârib hanya menyertakan tenaga, namun kedudukan mereka tetap sebagai pemilik perusahaan. Dikatakan demikian, karena mudhârib mendapatkan keuntungan bukan dari upah mengupah („ujrah), melainkan dari bagi hasil persekutuan. Sedangkan pemberian upah (gaji), hanya berlaku bagi 50 pekerja (karyawan) yang mengikatkan diri dengan perusahaan melalui akad ijârah. Untuk membentuk perusahaan persekutuan berskala kecil, masing-masing syirkah biasanya digunakan sendiri-sendiri secara terpisah. Sedangkan untuk mendirikan perusahaan persekutuan berskala besar yang membutuhkan adanya hubungan perikatan hingga pada tingkat kerumitan tertentu, maka masing-masing syirkah tersebut boleh dipadukan satu dengan yang lainnya. Karena dalam setiap syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. 51 

 Bahkan untuk menjalin hubungan perikatan antara perusahaan dengan pihak karyawan (pekerja), dibolehkan menggunakan akad lain di luar syirkah itu sendiri. Misalnya setelah para pengusaha sepakat membentuk perusahaan persekutuan, mereka dibolehkan karyawan sebagai untuk mengangkat pekerja. Dalam pengangkatan karyawan, akad yang digunakan oleh perusahaan bukan lagi syirkah  dengan sistem bagi hasil, melainkan ijarâh dengan sistem gaji (’ujrah). Namun perlu diketahui, bahwa antara pemilik perusahaan yang satu dengan pemilik perusahaan yang lainnuya, secara hukum tetap dibolehkan melakukan persekutuan (syirkah). 52

Kesimpulan

Syirkah merupakan praktik muamalah masa jahiliyah yang diadopsi ke dalam Islam. Menurut fiqh Islam, hukum asal dari syirkah adalah boleh. Landasan syariat kebolehan syirkah terdapat dalam kitab al-Qur‟an, asSunnah dan ijma’. Meskipun kaum muslimin bersepakat tentang kebolehan syirkah, namun mereka berbeda pendapat dalam hal pembagian bentuknya, seperti mufâwadhah,’inân, wujûh, atau abdân. Perbedaan pendapat tersebut memiliki konsekuensi hukum yang berbeda pula. Namun perlu diketahui bahwa penamaan bentuk syirkah secara lughaiyah tidak dinyatakan dalam nash-nash syara’ sehingga membuka peluang kita untuk melakukan ijtihad sebagaimana pernah dilakukan oleh al-mazâhib al-arba’ah. Bahkan melalui kombinasi dengan regulasi yang bersifat prosedural dan akad-akad lainnya, bentuk-bentuk syirkah tersebut dapat diterapkan dalam konteks modern.
———————————-

22 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmī wa Adilatuhu,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Jilid IV, h. 793.
23 Termasuk syirkah milk secara ikhtiyâri adalah saling
menerima wasiat dalam hal harta. Lihat Abdurrahman al-
Jaziri, Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazâhib al-Arba’ah,
(Beirut: Darul Kitab al-Ilmiah, 1424H), Jilid 3, h. 60.
24 Abdurrahman al-Jaziri, Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazâhib
al-Arba’ah, (Beirut: Darul Kitab al-Ilmiah, 1424H), Jilid
3, h. 60.

25 Abdurrahman  al-Jaziri,  Kitâb    al-Fiqh  ‘ala  al-Mazâhib al-Arba’ah,  (Beirut:  Darul  Kitab  al-Ilmiah,  1424H),  Jilid 3,    h.  60.  
26 Sayid  Sabiq,  Fiqh  Sunnah,  (Kairo:  Fatul    „Ilam  AlArabi,  t.t.),  Jilid  III,    h.  295 27 Dalam  hal  ini  Zuhaily  mengutip  kitab  Badâ’i:  VI/56,   Al-Mabsût:  XI/151,  Tabyīn  al-Haqâ’iq:  III/312.  Lihat   Wahbah  Zuhaily,  Al-Fiqh  al-Islâmī  wa  Adilatuhu, (Beirut: Dar  al-Fikr,  t.t.),  Jilid  IV,  h.  794 
28  Wahbah  Zuhaily,  Al-Fiqh  al-Islâmī  wa  Adilatuhu, (Beirut: Dar  al-Fikr,  t.t.),  Jilid  IV,  h.  794. 

29 Wahbah  Zuhaily,  Al-Fiqh  al-Islâmī  wa  Adilatuhu,  h. 794-795;  dalam  hal  ini  melalui  kitabnya  Zuhaily mengutip  Ibn  Rusyd,  Bidayah  Al-Mustahid:    II/248  dan Mughī  Muhtâj:  II/212.  Lihat  pula  Gufran  A.  Masadi, Fiqh  Muamalah  Kontekstual,  (Jakarta:  Rajawali  Press, 2002),  h.  193;  Rachmat  Syafe‟i,  Fiqh  Muamalah, (Bandung:  Pustaka  Setia,  2000),  h.  187.  Sayid  Sabiq membagi  bentuk  syirkah  ‘ukûd   menjadi  empat  macam, yaitu  syirkah  ’inân,  mufâwadhah,  ’abdân,  dan  wujûh. Sayid  Sabiq,  Fiqh  Sunnah,  (Kairo: Fatul    „Ilam  Al-Arabi, t.t.),  Jilid  III,    h.  29

30 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmī wa Adilatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Jilid IV, hlm. 795 
31 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Kairo: Fatul „Ilam AlArabi, t.t.), Jilid III, h. 296 
32 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmī wa Adilatuhu, h. 796 
33 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmī wa Adilatuhu, h. 797.

34 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmī wa Adilatuhu, h. 798. 
35 Dalam kitab ini Zuhaily mengutip pendapat  yang mengatakan bahwa hadits tersebut gharib yakni tidak ada sumbernya. Kemudian berusaha mencari asal usul hadits tersebut. Ibnu Majah melalui jalan sahabat menyatakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Tiga hal yang di dalamnya ada keberkahan, yaitu jual beli tangguh, muqaradah, menampurkan tepung dengan gandum bukan untuk dijual. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmī wa Adilatuhu, h. 800. 
36 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmī wa Adilatuhu, h. 800. 
37 Ibn Rusyd, Bidâyah Al-Mustahid:Nihâyah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), Jilid II, h. 205 
38 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmī wa Adilatuhu,. h. 801. 
39 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 296.

40 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 296-297
41 Ibn Rusyd, Bidâyah Al-Mustahid: Nihâyah al-Muqtashid, h. 206. 
42 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 297 
43 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, h.297

44 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmī wa Adilatuhu,. h. 803. 
45 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 297.  
46 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 297. 

47 Dalam bermu‟amalah, manusia tidak bisa lepas dari praktik syirkah. Karena kebutuhan itulah, praktik syirkah yang pernah dilakukan pada masa jahiliyah kemudian adopsi ke dalam fiqh Islam. 
 48 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 297. 
49 Burhanuddin S, Hukum Bisnis Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 20-21.

50 Burhanuddin S, Hukum Bisnis Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 20-21.
51 Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi Al-Islam., h. 156.
52 Burhanuddin S, Hukum Bisnis Syariah, h. 20-21.



Tinggalkan komentar