TOKOH SUFI (31) | SAHL BIN ABDULLAH AT TUSTARI | KISAH TELADAN

Sahl Bin Abdullah At Tustari

Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari lahir di Tustar (Ahwaz) di sekitar tahun 200 H. / 815 M.

la belajar dari Sofyan ats-Tsauri dan pernah bertemu dengan Dzun Nun al-Mishri. Kehidupannya yang tenang terganggu pada tahun 261 H / 874 M. ketika terpaksa mengungsi ke Bashrah, dan meninggal dunia di sana pada tahun 282 H / 896 M. Sebuah komentar singkat mengenai al-Qur’an diduga sebagai karyanya dan ia telah memberikan sumbangan-sumbangan yang penting bagi perkembangan teori sufisme. Ia menjadi tokoh yang berpengaruh besar berkat jasa muridnya Ibnu Salim yang mendirikan mazhab Salimiyah.

MASA REMAJA SAHL BIN ‘ABDULLAH AT-TUSTARI

Mengenai dirinya sendiri, Sahl bin Abdullah at-Tustari berkisah sebagai berikut ini.

Aku masih ingat ketika Allah bertanya, “Bukankah Aku Tuhanmu?”, dan aku menjawab, “Ya, sesungguhnya Engkau-lah Tuhanku”. Aku pun masih ingat ketika berada di dalam rahim ibuku.

Umurku baru tiga tahun ketika aku mulai beribadah sepanjang malam. Pamanku yang bernama Muhammad bin Shawwar pernah menangis karena terharu menyaksikan perbuatanku itu dan berkata kepadaku: “Tidurlah Sahl Engkau membuatku cemas”.

Secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan aku senantiasa mematuhi anjuran-anjuran paman. Pada suatu hari aku berkata kepadanya, “Paman, aku mendapatkan sebuah pengalaman yang sangat aneh. Aku seolah-olah melihat kepalaku bersujud di depan tahta”.

“Rahasiakanlah pengalaman ini dan jangan ‘katakan kepada siapa pun juga”, paman menasehatiku. Kemudian ia menambahkan, “Apabila di dalam tidur tubuhmu gelisah, ingatlah dirimu. Dan apabila lidahmu bergerak ucapkanlah: ‘Allah besertaku, Allah me-melihara diriku, Allah menyaksikan diriku’ “.

Saran ini kulaksanakan dan hal ini kusampaikan kepadanya.

“Ucapkanlah kata-kata itu tujuh kali setiap malam”, paman menyarankan. Kemudian kusampaikan kepadanya bahwa saran itu telah kulaksanakan.

“Ucapkanlah kata-kata itu lima belas kali setiap malam”. Saran paman kulaksanakan dan kesyahduan memenuhi kalbu-ku. Setahun telah berlalu. Kemudian paman berkata kepadaku:

”Laksanakanlah saran-saranku itu terus-menerus hingga ke liang kuburmu. Hasilnya adalah milikmu sendiri baik di dunia ini maupun di akhirat nanti”.

Beberapa tahun berlalu. Aku senantiasa melakukan hai yang serupa sehingga kesyahduan itu menembus ke dalam lubuk hatiku yang terdalam. Paman berkata kepadaku:

“Sahl, jika Allah menyertai seseorang manusia dan menyaksikan dirinya, bagaimanakah ia dapat mengingkari-Nya? Allah menjaga dirimu sehingga engkau tidak dapat mengingkari-Nya”.

Setelah itu aku pergi mengasingkan diri. Kemudian tiba waktu-nya aku hendak disekolahkan. Aku berkata, “Aku kuatir kalau konsentrasiku akan buyar. Buatlah sebuah persyaratan dengan guru, bahwa aku akan hadir selama satu jam dan belajar dengan sedapat-dapatnya, tetapi setelah itu aku boleh pergi untuk melakukan urusan-ku yang sesungguhnya”.

Dengan syarat itu barulah aku mau disekolahkan dan mempelajari al-Qur’an. Pada waktu itu usiaku baru tujuh tahun. Sejak itu aku terus-menerus berpuasa, sedang makananku satu-satunya adalah roti. Ketika berusia dua belas.tahun aku dihadapkan kepada sebuah masalah yang belum terpecahkan oleh siapa pun juga. Maka aku bermohon agar aku dikirimkan ke Bashrah untuk mencari jawaban masalah ini. Aku tiba di Bashrah, bertanya-tanya kepada para cendekia di kota itu, tetapi tak seorang pun di antara mereka dapat menjawab pertanyaanku. Dari Bashrah aku melanjutkan perjalanan ke Abbadan untuk menemui seorang yang bernama Habib bin Hamzah. Dialah yang dapat menjawab pertanyaanku itu. Untuk beberapa lamanya aku tinggal bersama Habib bin Hamzah dan banyak faedah yang kupetik dari pelajaran-pelajarannya.

Kemudian aku pergi ke Tustar. Pada waktu itu makananku sehari-hari sudah sedemikian sederhana: Dengan uang satu dirham untuk pembeli tepung yang kemudian digiling dan dibakar menjadi roti. Setiap malam menjelang fajar tiba aku berbuka puasa dengan sedikit roti tawar. Dengan cara yang seperti ini uang satu dirham itu dapat kumanfaatkan untuk setahun.

Setelah itu aku bertekad hendak berbuka puasa sekali dalam tiga hari, kemudian sekali dalam lima hari, kemudian sekali dalam tujuh hari, dan demikianlah seterusnya sehingga sekali dalam dua puluh hari. (Menurut salah satu riwayat, Sahl menyatakan bahwa ia pernah berbuka puasa sekali dalam tujuh puluh hari). Kadang-kadang aku hanya memakan satu buah badam untuk setiap empat puluh hari.

Untuk beberapa tahun aku melakukan percobaan-percobaan dengan rasa kenyang dan lapar. Pada awal mulanya aku mendapatkan bahwa aku merasa lemah karena lapar dan merasa kuat karena kenyang. Tetapi di kemudian hari aku mendapatkan bahwa aku merasa kuat karena lapar dan merasa lemah karena kenyang. Maka bermohonlah aku kepada Allah, “Ya Allah, tutuplah kedua mata Sahl, sehingga ia melihat kenyang di dalam lapar dan melihat lapar di dalam kenyang, karena keduanya berasal dari Engkau juga”.

—–

Pada suatu hari Sahl berkata, “Taubat adalah kewajiban setiap manusia di setiap saat, tanpa perduli apakah ia manusia yang telah di-muliakan Allah ataupun manusia kebanyakan, dan tanpa perduli apakah ia patuh atau ingkar kepada Allah”.

Pada masa itu di Tustar ada seorang yang mengaku sebagai seorang terpelajar dan pertapa. Orang ini menyangkal pernyataan Sahl di atas. “Sahl menyatakan bahwa seorang yang inkar harus bertaubat karena keinkarannya dan seorang yang patuh harus bertaubat karena kepatuhannya”.

Akhirnya berhasillah orang itu membuat orang banyak menentang Sahl. Kemudian ia menuduh Sahl sebagai seorang bid’ah dan kafir. Maka semua pihak, dari rakyat biasa sampai kaum bangsawan, menyerang Sahl. Sahl menahan dirinya. Ia tidak mau berbantahan dengan mereka untuk; membenarkan kesalahpahaman mereka itu. Dengan kobaran api suci agama, dituliskannya semua harta benda yang dimilikinya yaitu: kebun-kebun, rumah-rumah, perabot-perabot, permadani-permadani, jembangan-jembangan, emas dan perak; masing-masing di atas secarik kertas. Kemudian ia memanggil orang-orang berkumpul dan setelah berkumpul kertas-kertas tadi dilemparkannya kepada mereka untuk menjadi rebutan. Kepada setiap orang yang berhasil mendapatkan sehelai di antara kertas-kertas itu, Sahl memberikan harta benda miliknya yang tertulis di situ. Hal ini dilakukannya sebagai tanda terimakasihnya kepada mereka karena membebaskan dirinya dari harta benda dunia ini. Setelah menyerahkan segala harta kekayaannya itu berangkatlah Sahl menuju Hijaz. Ia berkata kepada dirinya sendiri:

“Wahai diriku, kini tiada sesuatu pun yang masih kumiliki. Janganlah meminta apa-apa lagi dari diriku karena akan sia-sia belaka”.

Hatinya setuju untuk tidak meminta apa pun juga. Tetapi ketika sampai ke kota Kufah, hatinya berkata: “Hingga sejauh ini aku tidak pernah meminta sesuatu pun jua darimu. Tetapi pada saat ini aku ingin sekerat roti dan sepotong ikan. Berikanlah roti dan ikan kepadaku, dan engkau tidak akan kuusik lagi di sepanjang perjalanan menuju Mekkah”.

Ketika memasuki kota Kufah, Sahl melihat sebuah penggilingan yang sedang digerakkan oleh seekor unta. Sahl bertanya: “Berapakah yang kalian bayar untuk mempekerjakan unta ini?”

“Dua dirham!”

“Lepaskanlah unta ini dan ikatlah aku sebagai penggantinya. Berikanlah satu dirham untuk kerjaku hingga waktu Isa nanti”.

Unta itu pun dilepaskan dan tubuh Sahl diikat ke penggilingan itu. Setelah malam tiba ia pun memperoleh upahnya sebesar satu dirham. Dengan uang itu dibelinya sekerat roti dan sepotong ikan yang kemudian ditaruhnya di depan dirinya. Maka berkatalah Sahl kepada dirinya sendiri: “Wahai hatiku, setiap kali engkau menghendaki makanan ini, camkanlah olehmu bahwa engkau harus melakukan pekerjaan seekor keledai dari pagi hingga matahari terbenam untuk mendapatkannya”.

IKemudian Sahl menerusican perjalanannya ke Ka’bah, di mana ia bertemu dengan banyak tokoh-tokoh sufi. Dan dari Ka’bah ia kembali ke Tustar, di mana Dzun Nun sudah menantikan kedatangannya.

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI SAHL

Amr bin Laits jatuh sakit dan semua tabib tidak berdaya untuk menyembuhkannya. Maka dikeluarkanlah sebuah pengumuman yang berbunyi: “Adakah seseorang yang dapat menyembuhkan penyakit melalui doa?”

“Sahl adalah seorang manusia yang makbul doanya”, orang-orang berkata.

Maka dimintalah pertolongan Sahl. Karena ingat perintah Allah yang berbunyi: “turutilah perintah orang-orang yang memegang pe-merintahan”, Sahl memenuhi permintaan itu. Setelah duduk di depan Amr berkatalah Sahl kepadanya:

“Sebuah doa hanya makbul bagi seorang yang menyesal. Di dalam penjaramu ada orang-orang yang dihukum karena tuduhan-tuduhan palsu”.

Amr segera membebaskan orang-orang yang dimaksudkan Sahl itu dan kemudian ia bertaubat. Setelah itu barulah Sahl berdoa;

“Ya Allah, seperti kehinaan yang telah Engkau tunjukkan kepadanya karena keingkarannya, maka tunjukkan pulalah kepadanya kemuliaan karena kepatuhanku. Ya Allah, seperti batinnya yang telah Engkau beri selimut taubat, maka berikan pulalah kepada raganya selimut kesehatan”.

Begitu Sahl selesai mengucapkan doa itu Amr bin Laits segar bugar kembali. Banyak uang yang hendak diberikannya kepada Sahl, tetapi Sahl menolak dan meninggalkan tempat itu. Sehubungan dengan sikapnya ini salah seorang muridnya tidak setuju dan berkata kepada Sahl:

“Bukankah lebih baik apabila uang itu engkau terima sehingga kita dapat menggunakannya untuk melunasi hutang-hutang kita?”

“Apakah engkau menginginkan emas?” jawab Sahl, “nah, saksikanlah olehmu!”

Maka terlihatlah oleh si murid betapa seluruh padang pasir dipenuhi oleh emas dan permata merah delima. Kemudian Sahl berkata:

“Mengapakah seseorang yang telah memperoleh karunia Allah yang seperti ini harus menerima pemberian hamba-hamba-Nya?”.

Setiap kali melakukan latihan mistik, Sahl akan mengalami ekstase selama lima hari terus-menerus dan selama itu pula ia tidak makan. jika latihan itu dilakukannya di musim dingin, keringatnya mengucur dan membasahi pakaiannya. Jika di dalam keadaan ekstase ini para ulama bertanya kepadanya maka Sahl akan menjawab: “Janganlah kalian bertanya kepadaku karena di dalam saat-saat mistis seperti ini kalian tidak akan dapat memetik manfaat dari diriku dan dari kata-kataku”.

—–

Sahl sering berjalan di atas air tanpa sedikit pun kakinya menjadi basah. Seseorang berkata kepada Sahl:

“Orang-orang berkata bahwa engkau dapat berjalan di atas air”.

“Tanyakanlah kepada muazzin di masjid ini”, jawab Sahl. “Ia adalah seorang yang dapat dipercayai”.

Kemudian orang itu mengisahkan:

‘Telah kutanyakan si Muazzin dan ia menjawab: ‘Aku tak pernah menyaksikan hai itu. Tetapi beberapa hari yang lalu, ketika hendak bersuci, Sahl tergelincir ke dalam kulah, dan seandainya aku tidak ada di tempat itu niscaya ia telah binasa”.

Ketika Abu Ah bin Daqqaq mendengar kisah ini, la pun berkata:

“Sahl mempunyai berbagai kesaktian, tetapi ia ingin menyembunyikan hai itu”.

—–

Pada suatu ketika Sahl duduk di dalam masjid. Seekor burung dara terjatuh dari udara karena udara yang terlampau panas. Menyaksikan hai ini Sahl berseru:

“Syah al-Kiramni telah meninggal dunia!”

Ketika diselidiki ternyata benarlah kata-katanya itu.

—–

Singa-singa dan banyak binatang buas lain sering mengunjungi tempat kediaman Sahl. Dan Sahl akan memberi makan dan merawat mereka. Sampai hari ini pun rumah Sahl di Tustar itu disebut orang sebagai “rumah binatang-binatang buas”.

—–

Setelah lama bertirakat malam dan melakukan disiplin diri yang keras, kesehatan Sahl terganggu, ia menderita penyakit blennorrhoea yang parah, sehingga setiap sebentar ia harus ke kamar kecil. Karena itu ia selalu menyediakan sebuah guci di dekatnya. Tetapi menjelang waktu-waktu shalat penyakit itu reda dan ia dapat bersuci dan melakukan ibadah. Apabila ia naik ke atas mimbar, ia sama sekali menjadi segar bugar tanpa keluhan sedikit pun juga. Tetapi begitu ia turun dari mimbar, penyakit itu datang kembali. Walau dalam keadaan seperti ini tapi ia tak pernah melalaikan perintah Allah.

Menjelang ajalnya ia ditemani oleh keempat ratus orang muridnya. Mereka bertanya kepada Sahl:

“Siapakah yang akan duduk di tempatmu dan siapakah yang akan berkhotbah di atas mimbar sebagai penggantimu?”

Pada waktu itu ada seseorang penganut agama Zoroaster yang bernama Syadh-Dil.

“Yang akan menggantikanku adalah Syadh-Dil”, jawab Sahl sambil membuka matanya.

“Syeikh sudah tidak dapat berpikir waras lagi”, murid-muridnya saling berbisik.

“Ia mempunyai empat ratus orang murid, semuanya orang-orang terpelajar dan taat beragama, tetapi yang diangkatnya sebagai penggantinya adalah seorang penganut agama Zoroaster”.

“Hentikan omelan-omelan kalian. Bawalah Syadh-Dil kepadaku”, teriak Sahl.

Murid-murid Sahl segera menjemput si penganut agama Zoroaster itu. Ketika melihat Syadh-Dil berkatalah Sahl kepadanya:

“Tiga hari setelah kematianku, setelah shalat ‘Ashar, naiklah ke atas mimbar dan berkhotbahlah sebagai penggantiku”.

Setelah mengucapkan kata-kata itu Sahl menghembuskan nafas-nya yang terakhir. Tiga hari kemudian setelah shalat ‘Ashar, masjid semakin penuh sesak. Syadh-Dil masuk dan naik ke atas mimbar, semua orang melongo menyaksikannya.

“Apakah arti semua ini? Seorang penganut agama Zoroaster yang mengenakan topi Majusi dan sabuk pinggang Majusi!”

Syadh-Dil mulai berkhotbah:

“Pemimpin kalian telah mengangkat diriku sebagai wakilnya. Dia bertanya kepadaku: ‘Syadh-Dil, belum tibakah saatnya engkau memutus sabuk Majusi dari pinggangmu?’ Kini saksikanlah oleh kalian semua, akan kuputuskan sabukku ini”.

Dikeluarkannya sebuah pisau dan diputuskannya sabuk pinggang yang dikenakannya itu. Kemudian Syadh-Dil meneruskan:

“Pemimpin kalian kemudian bertanya pula: ‘Belum tibakah saatnya engkau melepaskan topi Majusi dari kepalamu?’. Kini saksikanlah oleh kalian semua, kulepaskan topi ini dari kepalaku”.

Kemudian Syadh-Dil berseru:

“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Syeikh juga me-nyuruhku untuk mengatakan kepada kalian: ‘Dia yang menjadi syeikh dan guru kalian telah memberikan nasehat yang baik kepada kalian, dan kewajiban seorang murid adalah menerima nasehat guru-nya. Saksikanlah oleh kalian betapa Syadh-Dil telah memutuskan sabuknya yang terlihat. Jika kalian ingin bersua dengan aku di Hari berbangkit nanti, kepada setiap orang di antara kalian aku serukan, putuskanlah sabuk di dalam hatimu’ “.

Semua jama’ah menjadi gempar ketika Syadh-Dil selesai berkhotbah dan manifestasi-manifestasi spiritual yang mengherankan terjadilah.

—–

Ketika jenazah Sahl diusung ke pemakaman, jalan-jalan penuh sesak dengan manusia. Pada waktu itu di Tustar ada seorang Yahudi yang berusia tujuh puluh tahun. Ketika mendengar suara orang ramai itu ia pun berlari ke luar rumahnya untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Ketika rombongan itu lewat di depannya, si Yahudi tua berseru:

“Kalian lihatkah apa yang aku lihat? Malaikat-malaikat turun dari langit dan mengelus-ngeluskan sayap mereka ke peti matinya”.

Seketika itu juga ia mengucapkan syahadah dan menjadi seorang Muslim.

—–

Pada suatu hari ketika Sahl sedang duduk beserta sahabat-sahabatnya, lewatlah seorang lelaki. Sahl berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Orang itu mempunyai sebuah rahasia”.

Ketika mereka menoleh, orang itu telah berlalu.

Setelah Sahl mati, ketika salah seorang muridnya duduk di makam Sahl, lelaki tadi lewat pula di situ. Murid Sahl menegurnya:

“Syeikh yang terbaring di dalam makam ini pernah mengatakan bahwa engkau mempunyai sebuah rahasia. Demi Allah yang telah memberikan rahasia itu kepadamu, pertunjukkanlah kepadaku”.

Lelaki itu menunjuk ke makam Sahl dan berseru:

“Sahl, berbicaralah!”

Dari dalam kuburan terdengarlah suara yang lantang: “Tiada Tuhan kecuali Allah yang Esa dan tiada bersekutu”. Lelaki itu kemudian bertanya:

“Telah dikatakan: barangsiapa yakin bahwa tiada Tuhan selain Allah, maka tiadalah gelap baginya di dalam alam kubur. Benarkah demikian Sahl?”

Dari dalam kuburan itu terdengar jawaban Sahl: “Benar!”

—–

Muhammad bin Mudzaffar berkata, “Ketika umur Sahl bin Abdullah at-Tustari 3 tahun, ia sering bangun malam melihat pamannya Muhammad bin Siwar yang sedang

qiyamullail (shalat malam). Pamannya juga sering membangunkannya sambil berkata, ‘Bangunlah nak, lihatlah, hati ini sangat sibuk mengingat Allah!’

Ketika Sahl melihat pamannya sibuk shalat malam, pamannya bertanya, ‘Mengapa kamu tidak berdzikir kepada Allah yang telah menciptakanmu.’ Si keponakan bertanya kepada pamannya, ‘Bagaimana caranya aku berdzikir kepada Allah?’

Si Paman menjawab, ‘Ucapkanlah, … Allah senantiasa bersamaku, Allah senantiasa melihatku dan Allah senantiasa memperhatikanku, ucapkanlah bacaan itu 3 kali pada setiap malam.’ Bacaan tersebut diamalkannya beberapa malam. Sampai kemudian sang paman menganjurkannya agar ia mengucapkan bacaan tersebut sebanyak 7 kali, ia pun mengamalkannya dalam beberapa malam. Kemudian pamannya menyuruhnya agar membaca bacaan tersebut sebanyak 11 kali. Sang keponakan mentaati perintah pamannya sampai beberapa waktu. Ternyata dari bacaan itu jiwa dan hati Sahl merasa bahagia.

Kemudian ia menceritakan apa yang dialaminya ini kepada pamannya. Lalu pamannya menasehati, ‘Wahai Sahl, orang yang selalu merasa bahwa Allah senantiasa bersamanya, Allah senantiasa melihatnya dan bahwa Allah senantiasa memperhatikannya, mana mungkin ia berbuat maksiat kepadaNya! Hati-hati, jangan sekali-kali engkau durhaka kepada Allah!!’

Terdapat suatu riwayat yang sampai kepadaku pula bahwa Abu Muhammad yakni Sahl bin Abdullah telah hafal al-Qur’an pada usia 6 tahun. Sedang pada usia 12 tahun dia sudah biasa memberikan fatwa tentang beberapa masalah yakni dalam hal zuhud, wara’ , kedudukan iradah, fikih ibadah dan lain-lain.” ( Anba’ Nujabail Abna’ , hal. 188.)

Abdurrahman bin Muhammad pengarang kitab Shifatul Auliya’ wa Maratibul Ashfiya’ meriwayatkan dengan sanad beliau, beliau berkata, “Sahl sudah terbiasa berdzikir kepada Allah sejak usia 3 tahun. Terbiasa puasa sejak usia 5 tahun hingga wafatnya. Sudah mulai bepergian untuk menuntut ilmu pada usia 9 tahun.”

Bahkan banyak problem-problem dalam berbagai masalah yang ditanyakan kepada para ulama lain namun mereka tidak bisa menjawabnya kemudian baru terpecahkan setelah ditanyakan pada Sahl bin Abdullah. Padahal ketika itu usianya baru 12 tahun. Semenjak itu sudah nampak adanya karamah pada dirinya. Wallahu A’lam. (Anba’ Nujabail Abna’ , hal. 191.)

——-

Hidayah bisa datang kapan saja dan melalui berbagai cara. Terkadang seseorang tidak tersentuh dengan dakwah yang berbentuk ceramah, tetapi saat menyadari kemuliaan akhlak sang dai, hatinya pun luluh. Hidayah menyirami jiwanya dan syahadat pun diikrarkannya.

Seperti yang dialami oleh tetangga Sahal bin Abdullah At Tustari. Tetangga yang beragama majusi ini hidup sekian lama di lantai dua, di atas rumah Sahal. Tetapi ia tidak pernah menyadari bahwa WC nya bocor dan menetes di rumah Sahal.

Setiap hari, Sahal meletakkan ember besar untuk menampung kotoran yang menetes dari WC tetangganya ini. Ketika malam tiba, Sahal membuangnya. Ia memilih waktu malam agar orang lain tak melihatnya, agar tetangganya tidak menjadi malu karenanya.

Hingga suatu hari di tahun 283 hijriyah, Sahal jatuh sakit. Kebetulan saat itu orang majusi tersebut bertamu ke rumahnya. Ia pun melihat ada yang menetes dari arah WC nya. Tetesan itu jatuh ke dalam ember besar milik Sahal.

“Apa ini?” tanyanya dengan nada hati-hati. “Itu kotoran dari WC mu yang bocor. Aku membuangnya kala malam tiba. Hal ini telah kulakukan cukup lama. Hanya saja aku khawatir jika aku telah tiada, orang yang menempati rumah ini tidak dapat menerimanya. Bagaimana menurut pendapatmu?”

Mendengar jawaban Sahal ini, barulah ia menyadari kemuliaan akhlak Sahal. Tak ada tetangga sepertinya yang betah hidup bertahun-tahun bersamanya. Maka ia pun menjawab: “Wahai Syaikh, engkau berinteraksi denganku seperti ini sudah lama sekali. Sedangkan aku hidup dalam kekafiran. Ulurkanlah tanganmu, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”

Subhanallah… tetangga Sahal itu akhirnya menjadi saudara seaqidah. Dan tak lama kemudian, Sahal pun berpulang ke rahmatullah. 

——–

Sumber

“99 Kisah Orang Shalih”

Qashashu Ash Shalihin karya DR Mustafa Murad

Kitab Tadzkirotul Auliya Karya Fariduddin Attar.

Tinggalkan komentar