TOKOH SUFI (32) | AHMAD BIN KHAZRUYA | KISAH TELADAN

Ahmad Bin Khazruya
Abu Hamid Ahmad bin Khazruya al-Balkhi, seorang warga yang terkemuka di kota Balkh, mempersunting puteri yang shalih dari gubernur kota itu. Di antara sahabat-sahabat intimnya adalah Hatim asl-Ashamm dan Abu Yazid al-Busthami. Ia pergi ke Nishapur dan meninggal dunia tahun 240 H/864 M. dalam usia 95 tahun.

AHMAD BIN KHAZRUYA DAN ISTERINYA

Ahmad bin Khazruya mempunyai seribu orang murid yang masing-masing dapat terbang di angkasa dan berjalan di atas air. Ahmad selalu mengenakan seragam tentara. Isterinya, Fathimah merupakan seorang pembimbing ke jalan kesufian; Ia adalah puteri pangeran kota Balkh, Setelah bertaubat, ia mengirim utusan kepada Ahmad disertai pesan.

“Lamarlah aku kepada ayahku”.

Ahmad tidak memberi jawaban, kemudian dikirimnya utusan kedua dengan pesan,

“Ahmad, kusangka engkau lebih berjiwa satria daripada yang sebenarnya. Jadilah seorang pembimbing, janganlah menjadi seorang pembegal”

Maka Ahmad lalu mengirimkan wakilnya untuk melamar Fathimah kepada ayahnya. Karena menginginkan keridhaan Allah, ayah Fathimah menyerahkan puterinya kepada Ahmad. Fathimah meninggalkan segala urusan dunia dan memperoleh ketenangan menyertai Ahmad di dalam penyepian.

Hari demi hari mereka lalui sehingga suatu ketika Ahmad ber-maksud menemui Abu Yazid, Fathimah ikut serta. Ketika berhadapan dengan Abu Yazid, Fathimah membuka cadar mukanya dan turut berbincang-bincang. Ahmad kesal menyaksikan kelakuan isterinya itu dan api cemburu membakar dadanya.

“Fathimah, alangkah berani sikapmu ketika berhadapan dengan Abu Yazid?”, tegur Ahmad kepada isterinya.

“Engkau mengenai ragaku, tetapi Abu Yazid mengenai batinku. Engkau membangkitkan hasratku, tetapi Abu Yazid mengantarkan aku kepada Allah. Buktinya, Abu Yazid dapat hidup tanpa kutemani tetapi engkau senantiasa membutuhkan kehadiranku” jawab Fathimah.

Sikap Abu Yazid terhadap Fathimah tidak canggung. Suatu hari terlihatlah olehnya jari-jari tangan Fathimah yang berinai. Abu Yazid lalu berkata;

“Fathimah, mengapakah engkau mencat jari-jari tanganmu?” “Abu Yazid, sebelumnya engkau tak pernah memperhatikan jari-jari tanganku yang berinai ini, karena inilah aku tak merasa canggung terhadapmu. Kini, setelah engkau memperhatikan tanganku, tak pantas lagi aku bergaul denganmu sela Fathimah.

Mendengar ini Abu Yazid tak mau kalah: “Aku telah meminta kepada Allah agar wanita-wanita yang terpandang olehku tidak lebih menggairahkan hatiku daripada dinding. Dan demikianlah yang diperbuat-Nya terhadap diri mereka dalam pandangan mataku”.

Setelah itu Ahmad dan Fathimah berangkat ke Nishapur. Di sana mereka mendapat sambutan yang hangat. Suatu waktu, Yahya bin Mu’adz singgah di Nishapur sebelum meneruskan perjalanannya menuju Balkh, Ahmad bermaksud menyelenggarakan pesta menyambut kedatangannya, iapun meminta pendapat Fathimah,

“Apakah yang kita perlukan untuk pesta penyambutan Yahya?”

“Beberapa ekor lembu dan domba” jawab Fathimah, “‘perlengkapan-perlengkapan, lilin-lilin dan minyak mawar. Di samping itu kita masih membutuhkan beberapa ekor keledai”.

“Apakah gunanya kita menyembelih keledai?” tanya Ahmad terheran.

“Apabila ada seorang pejabat yang datang untuk bersantap maka anjing-anjing tetanggapun harus mendapat bagian pula” jawab Fathimah.

Demikianlah semangat kekesatriaan sejati Fathimah, karena itulah Abu Yazid pernah berkata;

“Jika ada yang ingin menyaksikan seorang laki-laki sejati yang bersembunyi di balik pakaian perempuan, pandanglah Fathimah!”

AHMAD BIN KHAZRUYA BERGUMUL DENGAN BATlNNYA SENDIRI

Ahmad bin Khazruya berkisah sebagai berikut ini:

Telah lama sekali aku menindas hawa nafsuku. Suatu hari orang-orang berangkat ke me dan perang, hasratkupun timbul menyertai mereka. Batinku membisikkan beberapa hadits yang menjelaskan pahala-pahala akhirat bagi yang berjuang di jalan Allah. Aku ter-heran-heran dan berkata dalam hati :

“Batinku biasanya tidak gampang mematuhi kehendakku. Tak seperti sekarang ini. Mungkin hai ini karena aku senantiasa berpuasa sehingga batinku tak dapat lagi menanggung lapar lebih lama dan ingin agar aku menghentikan puasaku”

Aku lalu membulatkan tekad, “Aku akan berpuasa terus selama perjalanan”.

“Aku sangat setuju” jawab batinku.

“Mungkin batinku berkata demikian karena aku bisa melaksanakan shalat di sepanjang malam dan ingin agar aku tidur dan beristirahat di malam hari”.

“Aku tidak akan tidur sebelum fajar” tekadku pula.

“Aku sangat setuju” jawab batinku.

Aku semakin terheran-heran. Kemudian terpikirlah olehku bahwa mungkin batinku berkata demikian karena ingin bergaul dengan orang ramai, jemu dalam kesepian dan membutuhkan hiburan.

Maka akupun bertekad: “Kemana pun aku pergi, aku akan menyendiri dan tidak akan berkumpul bersama orang lain”

“Aku setuju sekali” batinku malah menyetujuinya pula.

Habislah sudah dayaku. Dengan segala kerendahan hati aku bermohon kepada Allah semoga Dia berkenan menunjukkan kepadaku tipu daya batinku, atau memaksa batinku untuk mengaku secara terus-terang kepadaku. Maka berkatalah batinku kepadaku,

“Setiap hari dengan menindas segala keinginanku, engkau telah membunuhku beratus kali, tapi orang lain tidak mengetahui ini. Di dalam pertempuran-pertempuran nanti, setidaknya engkau akan terbunuh, aku bebas dan seluruh dunia akan gempar dengan berita ‘Ahmad bin Khazruya yang gagah perkasa telah mati terbunuh dengan mahkota syuhada di atas kepalanya’ ” .

“Maha Besar Allah yang menciptakan batin yang munafik, baik selagi hidup maupun sesudah mati. Engkau bukanlah seorang Muslim sejati di dunia ini maupun di akhirat nanti. Aku sangka engkau ingin menaati Allah, rupanya engkau hanya sekedar mengencangkan ikat pinggangmu” seruku.

Sejak saat itu, aku lipat-gandakan perjuanganku melawan batinku sendiri.

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI AHMAD BIN KHAZRUYA

Seorang pencuri berhasil masuk ke dalam rumah Ahmad bin Khazruya. Setiap sudut telah diperiksanya tetapi tak satupun yang ditemukannya. Dengan rasa putus asa ia hendak meninggalkan tempat itu, Ahmad memanggilnya.

“Anak muda, ambillah ember itu, timbalah air dari sumur itu, kemudian bersucilah dan shalat. Jika nanti kudapatkan sesuatu, akan kuberikan padamu supaya engkau tidak meninggalkan rumah ini dengan tangan kosong”.

Anak muda itu berbuat seperti yang disarankan Ahmad. Ketika hari telah siang, seorang lelaki datang membawa seratus dinar emas untuk syeikh Ahmad.

“Ambillah uang ini sebagai ganjaran shalatmu tadi malam”, Ahmad berkata kepada si pencuri. Sesaat itu juga tubuhnya gemetar, ia menangis dan berkata,

“Aku telah memilih jalan yang salah. Baru satu malam berbakti kepada Allah, sudah sedemikian banyaknya karunia yang dilimpah-kan-Ny a kepadaku.

Si pencuri bertaubat dan kembali ke jalan Allah. Ia tidak mau menerima emas tersebut dan kemudian ia menjadi salah seorang murid Ahmad.

—–

Suatu ketika, Ahmad mengenakan pakaian compang-camping lalu mampir di persinggahan para sufi. Sebagai seorang sufi, sepenuh hati ia membakrikan diri dengan kewajiban-kewajiban spiritual. Tetapi para sufi yang berada di persinggahan itu meragukan ketulusan Ahmad.

“Orang ini tidak tinggal di persinggahan ini” mereka berbisik kepada syeikh mereka.

Pada suatu hari Ahmad pergi ke sumur dan timbanya terjatuh.

Para sufi di tempat itu mencaci maki Ahmad, Ahmad segera berkata kepada ketua mereka dan berkata kepadanya:

“Bacalah Fathihah agar timba yang terjatuh itu keluar dari dalam sumur”.

“Permintaan apakah ini?”, seru sang syeikh dengan heran. “Jika engkau tidak mau, izinkanlah aku yang membacakannya”.

Syeikh lalu memberikan izin, Ahmad membacakan Fathihah dan timba itupun muncullah ke permukaan air.

Menyaksikan kejadi-an ini si syeikh melepaskan topinya dan bertanya,

“Anak muda, siapakah engkau ini sebenarnya sehingga gudang gandumku hanya seperti dedak dibanding dengan sebutir gandum-mu?”

Ahmad menjawab, “Sampaikan kepada sahabat-sahabatmu agar mereka menghargai musafir”.

—–

Seorang lelaki mendatangi Ahmad dan berkata. “Aku sakit dan miskin. Ajarilah aku suatu cara sehingga aku terlepas dari cobaan-cobaan ini”

Tuliskanlah setiap macam usaha yang engkau ketahui di atas secarik kertas. Taruhlah kertas itu di dalam sebuah kantong dan bawalah kantong itu kepadaku” jawab Ahmad.

Lelaki itu menuliskan setiap macam usaha pada sehelai kertas lalu ia masukkan ke dalam sebuah kantong, kemudian diberikannya kepada Ahmad. Ahmad memasukkan tangannya ke dalam kantong itu dan mengeluarkan secarik kertas. Ternyata di atas kertas itu tertulis perkataan “merampok”.

“Engkau harus menjadi seorang perampok”, Ujar Ahmad.

Lelaki itu terheran-heran, namun ia segera meninggalkan tempat itu dan bergabung dengan sekawanan perampok.

“Aku suka melakukan pekerjaan seperti ini, tetapi apakah yang harus kulakukan?”. tanyanya kepada mereka.

“Ada satu peraturan yang harus ditaati di dalam pekerjaan seperti ini”, perampok-perampok itu menerangkan. “Apa pun pekerjaan yang kami perintahkan kepadamu, harus engkau laksanakan”.

“Akan kutaati perintah kalian” ia meyakinkan para perampok itu.

Beberapa hari ia bergabung dengan mereka. Pada suatu hari lewatlah sebuah khalifah. Perampok-perampok itu menghadang, dan membawa seorang anggota kafilah itu, yaitu seseorang yang kaya raya kepada sahabat baru mereka.

“Potong lehernya”, perintah mereka.

Lelaki itu tertegun. Iapun berkata dalam hati “Kepala perampok ini telah membunuh banyak manusia. Lebih baik jika dia sedirilah yang kubunuh daripada saudagar ini”

“Jika engkau menghendaki pekerjaan ini, taatilah perintah kami”, kepala perampok itu berkata kepadanya. “Jika tidak, pergilah dari sini dan carilah pekerjaan lain”.

“Jika harus menaati perintah, maka perintah Allah-lah yang harus kutaati, bukan perintah perampok-perampok”, putus lelaki itu sambil menghunus pedangnya, dia lepaskan saudagar tersebut dan melayanglah kepala ketua perampok itu. Melihat hai ini perampok-perampok lain segera mengambil langkah seribu, barang-barang rampasan kafilah itu mereka tinggalkan dan saudagar itu selamat. Si saudagar memberinya emas dan perak sedemikian banyak-nya sehingga ia dapat hidup dengan tenang sesudahnya.

—–

Pada suatu ketika Ahmad menjamu seorang guru sufi. Untuk itu Ahmad menyalakan tujuh puluh batang lilin. Melihat pelayanan yang mewah ini, si guru sufi mencela,

“Aku tak senang menyaksikan semua ini. Tetekbengek seperti ini tidak ada hubungannya dengan sufisme”.

Ahmad menjawab: “Jika demikian padamkanlah lilin-lilin yang telah kunyalakan bukan karena Allah”.

Sepanjang malam si guru sufi sibuk menyiramkan air dan pasir tetapi tak satupun di antara ketujuh puluh lilin itu dapat dipadam-kannya. Keesokan harinya Ahmad berkata kepada si guru sufi,

“Mengapa engkau begitu terheran-heran. Mari, ikutilah aku, akan kutunjukkan hal yang benar-benar menakjubkan”

Mereka lalu pergi dan sampai di pintu sebuah gereja. Ketika melihat Ahmad beserta sahabat-sahabatnya, pengurus gereja itu mempersilahkan mereka masuk. Kemudian ia mempersiapkan jamuan di atas meja dan mempersilahkan Ahmad bersantap.

“Orang-orang yang bermusuhan tidak bersantap bersama-sama” ujar Ahmad.

“Jika demikian, Islamkanlah kami” jawab kepala pengurus gereja itu.

Ahmad mengislamkan mereka yang semuanya berjumlah tujuh puluh orang itu. Pada malam itu Ahmad bermimpi dan di dalam mimpi itu Allah berkata kepadanya:

“Ahmad, engkau telah menyalakan tujuh puluh lilin untuk-Ku dan karena itu untukmu telah Ku-nyalakan tujuh puluh jiwa dengan api iman”.

——

Sumber

Dari buku Tazkiratul Aulia karangan Fariduddin Al Attar

Tinggalkan komentar